Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2012

Harga BBM dan Jumlah Si Miskin

dimuat di Harian Kontan (8 Maret 2012) dan Harian Malut Post  SETELAH   sempat mengalami tarik ulur, Pemerintah akhirnya dengan berat hati memutuskan untuk menaikkan Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) terhitung mulai 1 April 2012 mendatang. Keputusan ini dibarengi optimisme: ekses inflasi yang ditimbulkan dapat dikelola dengan baik ( manageable ) serta kemampuan untuk menjaga dan melindungi daya beli mereka yang terkena dampak ─ penduduk miskin dan hampir miskin (kelompok menengah ke bawah). Sejak era Orde Baru hingga kini, catatan pengentasan kemiskinan di Indonesia sebetulnya cukup mengesankan, terekam oleh data statistik yang ada. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sepanjang periode 1976-2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia secara umum terus menurun secara konsisten. BPS mencatat, pada tahun 1976, jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta orang atau sekitar 40 persen dari total penduduk saat itu. Bandingkan dengan kondisi dewasa ini! Pada September 2011

Koreksi Terhadap Pemberitaan Kompas.com

“Data (yang benar) mencerdaskan bangsa.”  (Motto: Badan Pusat Statistik) Pada Kamis (25/08/2011), KOMPAS.com memberitakan laporan yang dirilis oleh  Asian Development Bank  (ADB) tentang perkembangan kondisi kemiskinan Indonesia saat ini yang lebih buruk dibanding lima tahun lalu. Selengkapnya, isi berita yang dimaksud dapat Anda baca pada tautan berikut  ADB: Penduduk Miskin Indonesia Bertambah . Terlepas berita ini bersumber dari kantor berita AFP, menurut saya ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi. Defenisi dan metode pengukuran kemiskinan Sebelum membahas kejanggalan yang saya maksudkan, sangat penting bagi kita memahami terlebih dahulu defenisi kemiskinan dan bagaimana angka-angka kemiskinan itu diperoleh. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan multid

Menyoal Garis Kemiskinan BPS

Hari ini, Minggu (10/9/2011) pukul 13.47 WIB, KOMPAS.com menurunkan berita mengenai usulan untuk merevisi garis kemiskinan (GK) yang selama ini digunakan oleh Pemerintah−Badan Pusat Statistik (BPS)-dalam menghitung jumlah orang miskin di Indonesia. Selangkapnya, berita tersebut dapat Anda baca pada tautan berikut Garis Kemiskinan Harus Direvisi Dalam berita tersebut dinyatakan bahwa Komisi XI DPR akan mengarahkan pemerintah agar mengubah GK yang saat ini ditetapkan setara dengan penghasilan Rp 230.000 per orang dalam sebulan. GK yang ada saat ini dinggap salah kaprah karena mengabaikan mereka yang memiliki penghasilan sedikit di atas Rp 230.000 per bulan atau Rp 9.000 ribu perhari, padahal seorang pengemis saja sekarang ini bisa mengumpulkan lebih dari Rp 10.000 ribu per hari−kenyataannya memang banyak pengemis yang kaya, mereka pura-pura miskin dengan menjadi pengemis. Lebih lanjut dalam berita tersebut dinyatakan Komisi XI DPR akan mendorong pemerintah untuk memasukkan

Angka Kemiskinan Terbaik Punya BPS

Setelah membaca postingan seorang kawan perihal garis kemiskinan BPS yang kembali diributkan oleh para wakil rakyat yang tengah kehilangan kepercayaan karena berbagai tingkah mereka yang seringkali melukai hati rakyat itu ─ mulai dari kesenangan  berpelancong ke luar negeri dengan dalih studi banding, budaya kleptomania merampok uang negara, hingga yang terbaru kasus mafia anggaran ─ gairah saya terhadap persoalan kemiskinan kembali menyeruak, setelah sempat padam karena terlalu sibuk dengan ramalan produksi padi dan palawija. Saya akan menanggapi isi tautan tersebut  sebagai seorang statistisi didikan BPS, bukan sebagai politisi yang seringkali subjektif sesuai kepentingan yang diusung. Dalam ranah politik, kebenaran seringkali kabur dan tidak jarang mengalami deviasi. Sesuatu yang sejatinya benar bisa menjadi salah jika sebagian besar dari anggota dewan yang katanya terhormat itu mengatakannya sebagai suatu kesalahan. Mengukur Kemiskinan Tidaklah Semudah Menggunakan Peng

Di Balik Angka Kemiskinan

Untuk pertama kalinya sejak tahun 1984, pada tahun 2011 lalu Badan Pusat Statistik (BPS) dua kali menghitung jumlah penduduk miskin dalam satu tahun. Sebelumnya, penghitungan jumlah penduduk miskin hanya dilakukan BPS pada bulan Februari/Maret. Dan sejak tahun 2011, selain pada bulan Maret penghitungan jumlah penduduk miskin juga dilakukan pada bulan September. Hasil penghitungan jumlah penduduk miskin pada September 2011 baru saja dirilis tiga hari yang lalu (2/1). Dalam rilis tersebut BPS menyebutkan, jumlah penduduk miskin Indonesia pada September 2011 diperkirakan sebanyak 29,89 juta orang  atau sekitar 12,36 persen dari total populasi. Jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2011 di mana jumlah penduduk miskin kala itu diperkirakan mencapai 30,02 juta orang (12,49 persen), itu artinya telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebanyak 130 ribu orang atau 0,13 persen selama periode Maret-September 2011. Mengecewakan Saya kira, ini adalah sebuah hasil yang mengecewak

Rokok dan Si Miskin

Tahun ini, pemerintah berencana menaikkan cukai tembakau sebesar 12,2 persen. Selain untuk mencegah peredaran rokok dan cukai ilegal serta menggenjot penerimaan pemerintah, tujuan  langkah ini diambil adalah untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok penduduk negeri ini yang memang masih sangat tinggi. Langkah menaikkan tarif cukai tembakau untuk mengurangi konsumsi rokok sebetulnya kurang efektif. Karena, kebiasaan merokok adalah sesuatu yang adiktif, dan orang akan berhenti merokok karena kesadaran, bukan karena harganya yang menjadi sediki lebiht mahal. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan BPS pada tahun 2007 menunjukkan bahwa secara rata-rata penguluaran untuk rokok mencapai 12,4 persen dari total pengeluaran setiap penduduk Indonesia setiap bulannya, nomor dua setelah pengeluaran untuk padi-padian (19 persen). Bahkan, pengeluaran untuk rokok ternyata lebih tinggi tiga kali lipat dibanding pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan. Dan data ini saya kir

Data BPS: Pengemis Tua, Kok Gak Miskin?

Diketahui, untuk menghitung jumlah orang miskin di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (makanan dan non makanan). Dalam prakteknya, nilai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap orang-agar tidak terkategori miskin-dinyatakan dalam jumlah rupiah tertentu yang kemudian disebut garis kemiskinan (GK). Orang dikatakan miskin jika dalam sebulan pengeluarannya lebih kecil dari nilai GK. Kelemahan mendasar metode ini adalah defenisi kemiskinan yang sejatinya luas dan multidimensi tereduksi hanya pada dimensi ekonomi saja. Maklum, tidak semua dimensi yang menjelaskan kemiskinan (sebagian besar kualitatif) dapat diukur secara statistik/kuantitatif. Padahal, di sisi lain pemerintah sangat membutuhkan statistik kemiskinan sebagai dasar pijakan perumusan dan alat evaluasi berbagai kebijakan anti kemiskinan. Dengan metode yang digunakan BPS selama ini, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi meskipun tidak didasarkan pada metode yang  mampu