Langsung ke konten utama

Jumlah Si Miskin (4): Garis Kemiskinan BPS, Bagaimana Menghitungnya?


Dalam mengukur kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pengeluaran sebagai indikator hidup layak (well-being). Garis kemiskinan yang dipakai adalah garis kemiskinan absolut yang didasarkan pada konsep pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan demikian, penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut miskin.

Dalam prakteknya, garis kemiskinan yang dipakai BPS merupakan hasil penjumlahan garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GNKM).
GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan makanan untuk memenuhi asupan energi sebesar 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Jumlah kalori sebesar ini disumbang oleh 52 jenis komoditi. Padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, dan susu merupakan komoditi dengan kontribusi kalori paling besar.

Sementara itu, GKNM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan dasar non-makanan yang mencakup perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makananan terdiri dari 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Pemilihan jenis komoditi non-makanan yang diikutkan dalam penghitungan GKNM mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk.

Garis kemiskinan, baik makanan maupun non-makanan, juga dihitung secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Ini harus dilakukan karena perbedaan pola konsumsi antara penduduk perkotaan dan perdesaan. Selain itu, harga yang dibayarkan oleh penduduk perkotaan untuk memenuhi kebutuhan dasar juga berbeda dengan penduduk perdesaan.
Sebelum garis kemiskinan dihitung, terlebih dahulu ditentukan kelompok populasi rujukan (reference population), yaitu 20 persen penduduk dengan nilai pengeluaran di atas garis kemiskinan sementara (GKS). Kelompok ini disebut penduduk kelas marjinal. Selanjutnya, berdasarkan pengeluaran penduduk kelompok marjinal ini, GKM dan GKNM dihitung. Dengan demikian, garis kemiskinan pada dasarnya merupakan nilai pengeluaran penduduk kelas marjinal untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.

GKS dihitung berdasarkan garis kemiskinan periode sebelumnya yang digerakkan dengan inflasi umum. Itulah sebabnya, dari tahun ke tahun nilai nominal garis kemiskinan terus meningkat seiiring kenaikan harga-harga. Ini sekaligus membantah anggapan sebagian orang, bahwa garis kemiskinan yang digunakan BPS selama ini tidak mengikuti perkembangan harga-harga (inflasi).

Penghitungan garis kemiskinan didasarkan pada basis data pengeluaran 68.500 sampel rumah tangga di seluruh Indonesia yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas adalah survei rutin yang diselenggarakan BPS untuk memotret pola konsumsi rumah tangga di seluruh Indonesia dengan menggunakan modul konsumsi yang mencakup lebih dari 300 item pengeluaran. Dari survei ini diperoleh secara rinci alokasi pengeluaran rumah tangga untuk berbagai kebutuhan makanan dan non-makanan setiap bulannya.

Sejak tahun 2011, Susenas (modul kosumsi) diselanggarakan oleh BPS setiap tiga bulan dalam satu tahun (triwulanan). Potret kemiskinan yang disajikan adalah kondisi bulan Maret dan September. Karena dihitung berdasarkan data survei, perlu dipahami bahwa angka kemiskinan yang dihasilkan BPS pada dasarnya hanyalah estimasi. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke s

Dimensi Kemiskinan di Indonesia

          Jumlah Penduduk Rentan Miskin Cukup Tinggi Melonjaknya angka kemiskinan pada tahun 2006 menunjukkan salah satu dimensi penting kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang hidup dengan pengeluaran di sekitar garis kemiskinan (rentan miskin). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS panel) yang dilakukan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan di sekitar garis kemiskinan nasional cukup besar sehingga menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin seandainya terjadi guncangan ekonomi. Jika yang digunakan adalah indikator garis kemiskinan Bank Dunia [2] , yakni sebesar 1 dollar dan 2 dollar PPP per hari, maka persentase penduduk miskin pada tahun 2006 masing-masing adalah 7,4 persen dan 49,0 persen. Tebel 3. Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun       Sumber GK per Hari GK per Bulan Pers

Catatan Penurunan Kemiskinan 2013

Pada Juni 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis potret kemiskinan kondisi Maret 2013. BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin negeri ini mencapai 28,07 juta jiwa atau sekitar 11 ,37 persen dari total penduduk. Jika dibandingkan dengan kondasi Maret tahun lalu, berarti telah terjadi penurunan tipis 0,59 persen atau sebesar 1,06 juta jiwa .  Di tengah luar biasanya energi yang telah dicurahkan pemerintah melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan, laporan BPS ini kembali mengkonfirmasi, tren penurunan kemiskinan terus berlanjut. Dan sayangnya, dengan kecepatan yang lambat.  Konsekwensinya, sasaran tingkat kemiskinan nasional sebesar 8 hingga 10 persen tahun depan seperti ditetapkan pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional bakal sulit (baca: mustahil) dicapai. Pasalnya , dampak kenaikan harga BBM Juni lalu dipastikan bakal memicu lonjakan jumlah penduduk miskin minimal 1 persen pada 5-6 bulan mendatang.  Dalam beberapa tahun terakhir, kin