Langsung ke konten utama

Jumlah Si Miskin (6): Kesalahpahaman Terhadap Garis Kemiskinan Bank Dunia


Dalam penentuan garis kemiskinan internasional—yang telah diulas pada tulisan sebelumnya, Bank Dunia tidak menggunakan kurs atau nilai tukar (market exchange rates) ketika mengkonversi garis kemiskinan setiap negara ke dollar AS. Begitupula ketika menghitung kemiskinan di setiap negara, Bank Dunia juga tidak menggunakan nilai tukar ketika mengkonversi garis kemiskinan internasional—dalam dollar AS—ke mata uang setiap negara. Yang digunakan Bank Dunia sebagai faktor konversi adalahpurchasing power parity (PPP) atau paritas daya beli.

Nila tukar tidak dapat digunakan dalam perhitungan kemiskinan karena tidak menggambarkan harga relatif barang dan jasa antar negara atau dengan kata lain tidak menunjukkan daya beli suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Nilai tukar juga menderita “traded sector bias,” yakni hanya dipengaruhi oleh harga-harga barang yang diperdagangkan antar negara, tetapi tidak dipengaruhi oleh harga-harga barang yang hanya diperdagangkan secara domestik pada setiap negara.

Purchasing Power Parity
Secara sederhana, PPP merupakan suatu ukuran daya beli relatif dari sejumlah mata uang yang berbeda. Jika kita membandingkan dollar AS dan rupiah dalam perspektif PPP, itu artinya kita sedang membandingkan daya beli relatif kedua mata uang (dollar AS terhadap rupiah atau sebaliknya rupiah terhadap dollar AS)—atas sejumlah barang dan jasa.

Dengan demikian, 1 dollar AS dalam PPP menunjukkan berapa rupiah yang diperlukan di Indonesia untuk membeli barang dan jasa (dengan jenis dan jumlah yang sama) yang dibeli dengan harga 1 dollar di Amerika Serikat. Tentu, harga barang dan jasa tersebut bisa saja didapatkan di Indonesia dengan jumlah rupiah yang nominalnya lebih kecil dari nilai kurs rupiah terhadap dollar AS.

Contoh Big Mac Index mungkin akan cukup membantu dalam menjelaskan konsep PPP. Selama ini, para ekonom selalu tertarik untuk mengetahui daya beli riil suatu mata uang—katakanlah dollar AS—terhadap mata uang yang lain—rupiah, misalnya; apakah dollar AS mengalami under valuation, atau sebaliknya over valuationterhadap rupiah? Untuk menjawab itu semua, para ekonom menggunakan alat yang sederhana namun powerfull, yakni Big Mac Index.

Big Mac Index menggunakan harga sepotong burger Big Mac yang dijual di restoran cepat saji McDonald yang tersebar di hampir semua negara untuk melihat daya beli dollar AS terhadap mata uang negara lain. Misalkan, kita ingin mengatahui daya beli dollar AS terhadap rupiah pada 11 Januari 2012 dengan menggunakan Big Mac Index, ilustrasinya adalah seperti berikut:

Pada 11 Januari 2012, harga sepotong burger Big Mac di Indonesia adalah Rp22.534, sementara pada saat yang sama harga sepotong burger Big Mac di Amerika Serikat ternyata sebesar 4,2 dollar AS. Artinya, daya beli 1 dollar AS—atas sepotong burger Big Mac—hanya sebesar Rp5.368 di Indonesia. Karena kurs rupiah terhadap dollar AS saat itu sebesar Rp9.160 per dollar, itu artinya harga sepotong burger Big Mac di Indonesia cuma sebesar 2,6 dollar AS atau lebih murah 1,6 dollar AS dibanding di Amerika Serikat. Dalam bahasa para ekonom, dollar AS mengalami under valuation sebesar 41,3 persen terhadap rupiah.

Ilustrasi di atas adalah contoh sederhana penerapan konsep PPP pada satu komoditas tunggal. Dalam prakteknya, penghitungan PPP cukup rumit dan kompleks. Komoditi yang diikutkan dalam penghitungan tidak hanya satu, tetapi ribuan.

Selama ini, penghitungan PPP dilakukan oleh International Comparison Program (ICP). Suatu tim kerja yang beranggotakan peneliti dari PBB, Bank Dunia, dan kalangan universitas. Fokus dari ICP adalah menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) beserta komponen penyusunnya (pengeluaran konsumsi rumah tangga, pengeluaran pemerintah, dan pembentukan modal tetap bruto) seluruh negara di dunia dalam dollar PPP. Dengan demikian, tingkat kesejahteraan dan capaian ekonomi antar negara dapat diperbandingkan secara apple-to-apple.

Untuk meningkatkan akurasi penghitungan PPP, cakupan barang dan jasa (bundle commodities) dan negara yang diikutkan dalam penghitungan terus mengalami perubahan. Hingga saat ini, ICP telah tiga kali melakukan penghitungan PPP, yakni pada tahun 1985, 1993, dan terakhir tahun 2005.

Kesalahpahaman
Garis kemiskinan Bank Dunia sebesar 1,25 dollar AS per kapita per hari didasarkan pada PPP tahun 2005. Jika menggunakan PPP tahun 2005, nilai 1 dollar AS setara dengan Rp4.192,83, bukan Rp9.704,74 (kurs rupiah terhadap dollar AS saat itu).

Dengan demikian, garis kemiskinan yang digunakan Bank Dunia ketika menghitung kemiskinan di Indonesia—jika yang digunakan adalah garis kemiskinan internasional sebesar 1,25 dollar AS per kapita per hari—di tahun 2005 adalah sebesar Rp5.241,04 per kapita per hari, bukan Rp12.130,93 per kapita per hari.

Inilah yang acap kali tidak dipahami oleh banyak kalangan—mulai dari mereka yang awam hingga yang disebut pakar—ketika menggunakan garis kemiskinan Bank Dunia. Nilai 1,25 dollar AS atau 2 dollar AS dikonversi begitu saja ke rupiah dengan menggunakan kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Ini tentu keliru. Saharusnya, konversi dollar AS ke rupiah didasarkan pada PPP tahun 2005 yang disesuaikan dengan perkembangan harga-harga (inflasi).

Itulah sebabnya, Bank Dunia selalu menuliskan garis kemiskinan internasional yang digunakannya dalam dollar PPP, bukan dollar AS. Tujuannya adalah untuk menghindari pemaknaan yang keliru terhadap garis kemiskinan tersebut. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke s

Dimensi Kemiskinan di Indonesia

          Jumlah Penduduk Rentan Miskin Cukup Tinggi Melonjaknya angka kemiskinan pada tahun 2006 menunjukkan salah satu dimensi penting kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang hidup dengan pengeluaran di sekitar garis kemiskinan (rentan miskin). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS panel) yang dilakukan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan di sekitar garis kemiskinan nasional cukup besar sehingga menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin seandainya terjadi guncangan ekonomi. Jika yang digunakan adalah indikator garis kemiskinan Bank Dunia [2] , yakni sebesar 1 dollar dan 2 dollar PPP per hari, maka persentase penduduk miskin pada tahun 2006 masing-masing adalah 7,4 persen dan 49,0 persen. Tebel 3. Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun       Sumber GK per Hari GK per Bulan Pers

Catatan Penurunan Kemiskinan 2013

Pada Juni 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis potret kemiskinan kondisi Maret 2013. BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin negeri ini mencapai 28,07 juta jiwa atau sekitar 11 ,37 persen dari total penduduk. Jika dibandingkan dengan kondasi Maret tahun lalu, berarti telah terjadi penurunan tipis 0,59 persen atau sebesar 1,06 juta jiwa .  Di tengah luar biasanya energi yang telah dicurahkan pemerintah melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan, laporan BPS ini kembali mengkonfirmasi, tren penurunan kemiskinan terus berlanjut. Dan sayangnya, dengan kecepatan yang lambat.  Konsekwensinya, sasaran tingkat kemiskinan nasional sebesar 8 hingga 10 persen tahun depan seperti ditetapkan pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional bakal sulit (baca: mustahil) dicapai. Pasalnya , dampak kenaikan harga BBM Juni lalu dipastikan bakal memicu lonjakan jumlah penduduk miskin minimal 1 persen pada 5-6 bulan mendatang.  Dalam beberapa tahun terakhir, kin