Langsung ke konten utama

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke sektor industri manufaktur (daerah perkotaaan)
Gambar 3 dan Tabel 2 juga menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan menurun secara konsisten selama periode 1976-1996 dengan tren penurunan yang cukup tajam. Penurunan persentase penduduk miskin di daerah perdesaan lebih cepat bila dibandingkan dengan di daerah perkotaan. Pada tahun 1976, jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan mencapai 44,2 juta orang atau sekitar 40,4 persen dari total penduduk perdesaan, jumlah ini kemudian menurun secara drastis pada tahun 1993: jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan turun menjadi 17,2 juta orang atau sekitar 13,8 persen dari total penduduk perdesaan. Sebuah capaian yang sungguh mengesankan, ini artinya dalam kurun waktu 27 tahun, jumlah penduduk miskin di perdesan berkurang sebesar 27 juta orang.

 Menurut Tambunan (2006), paling tidak terdapat tiga alasan untuk menjalaskan fenomena ini, yakni (i) pertumbuhan output sektor pertanian menyebabkan meningkatnya pendapatan dan penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian; (ii) meningkatnya penyerapan tenaga kerja pada aktivitas-aktivitas nonpertanian di perdesaan, seperti agro-industri, perdagangan, jasa-jasa dan transportasi di daerah perdesaan sebagai hasil dari peningkatan infrastruktur dan koneksi desa-kota; (iii) banyak tenaga kerja takterlatih, yang tidak terserap oleh petumbuhan di sektor pertanian dan aktifitas-aktifitas nonpertanian di perdesaan, bermigrasi ke daerah perkotaan dan bekerja pada industri manufaktur padat karya seperti industri makanan dan minuman, tekstil dan garmen, produk-produk kulit, elektronik dan alas kaki, konstruksi, transporatsi dan jasa-jasa.

Namun sangat disayangkan, badai krisis ekonomi yang menghantam Indonesia pada pertengahan tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998, memberikan shock yang sangat dahsyat terhadap kondisi perekonomian kala itu. Krisis tersebut menguncang sendi-sendi ekonomi, sosial, dan politik bangsa. Sebagai dampaknya, pada tahun 1998, jumlah penduduk miskin kembali melonjak hingga mencapai 48,99 juta orang atau sekitar 23,4 persen dari total penduduk Indonesia. Sementara itu, tingkat kemiskinan di daerah perkotaan dan perdesaan melonjak hingga mencapai dua kali lipat, yakni masing-masing sebesar 17,6 juta orang (21,92 persen) dan 31,39 juta orang (25,72 persen). Kondisi kemiskinan pada tahun 1998 ini mendekati kondisi kemiskinan pada tahun 1978 dan tahun 1980, atau dengan kata lain, krisis ekonomi tahun 1997 menjadikan capain pembangunan terkait pengurangan kemiskinan mengalami kemunduran lebih dari 15 tahun.
Dampak yang ditimbulkan oleh krisis tahun 1997 telah memunculkan sebuah pertanyaan mendasar terkait ketahanan (sustainability) pengurangan kemiskinan yang telah dicapai selama era pertumbuhan tinggi, sebelum krisis. Khususnya, penekanan pembangunan pada industrialisasi mulai dipertanyakan. Pada tahun 1998, ketika output riil merosot cukup tajam pada sektor industri, perdagangan, dan jasa secara berturut-turut masing-masing sebesar 9,2 persen, 18 persen, dan 19,6 persen, output sektor pertanian hanya mengalami penerunan tipis sebesar 0,7 persen. Bahkan, pada tahun 1999, sektor pertanian mulai bangkit dengan pertumbuhan positif sebesar 2,1 persen, dibantu oleh sektor industri sebesar 1,4 persen. Sementara itu, sektor jasa dan perdagangan tumbuh negatif masing-masing sebesar 1,5 persen dan 0,4 persen (Sumarto dan Suryahadi, 2003).
Kondisi di atas telah memunculkan sejumlah hipotesis, yakni sepertinya proses industrilisasi di Indonesia terlalu dini dan terlalu cepat. Seharusnya, Indonesia terlebih dahulu menfokuskan diri pada penguatan landasan (fundament) ekonominya, yakni sektor pertanian, sehingga dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 tidak separah yang telah terjadi. Dengan lain perkataan, seharusnya negara ini mendasarkan strategi pembangunannya pada pengembangan sektor pertanian sehingga pengurangan kemiskinan yang dicapai bisa lebih tinggi dan berkelanjutan (sustainable) (Sumarto dan Suryahadi, 2003).
Pasca krisis, seiring dengan pulihnya kondisi perekonomian nasional dan didukung oleh komitmen kuat pemerintah dalam mengurangi kemiskinan yang diwujudkan melalui berbagai program dan kebijakan pengentasan kemiskinan[1], persentase penduduk miskin secara umum terus menurun secara konsisten, hingga mencapai 14,15 persen pada tahun 2009. Namun demikian, proses penurunan ini boleh dibilang cukup lambat jika dibandingkan dengan periode sebelum krisis.
Meskipun secara umum, persentase penduduk miskin menurun secara konsisten pasca krisis, pada tahun 2006 sempat terjadi kenaikan persentase penduduk miskin hingga mencapai 17,75 persen. Menurut Bank Dunia (2007), hal ini terutama disebabkan oleh meningkatnya angka infasi kala itu karena Pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak dalam negeri, diikuti dengan meningkatnya harga beras selama kurun waktu tersebut.


[1] Program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya pengurangan kemiskinan paska krisis cukup banyak. Dimulai dari program jaring pengaman sosial (JPS) sebagai respon terhadap krisis, program padat karya, beras untuk rakyat miskin (RASKIN), hingga yang terbaru seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) mandiri. Pelaksanaan program-program ini sedikit banyak telah membantu pengurangan kemiskinan. 

Komentar

  1. Thanks infonya. Oiya ngomongin kemiskinan, ada loh orang-orang yang akhirnya jatoh miskin karena foya-foya. Siapa aja mereka? Temen-temen bisa cek di sini: miskin karena foya-foya

    BalasHapus
  2. Oiya ngomongin kemiskinan, kayaknya nyambung deh sama artikel yang saya temuin baru-baru ini. Di artikel ini disebutkan kalo ada beberapa kesalahan yang bikin seseorang ga pernah jadi kaya. Cek di sini ya: Kesalahan yang bikin kamu tidak pernah kaya, wajib dihindari!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pertanyaan Tentang Kemiskinan dari Mentawai

Suatu tempo, seorang sahabat nun di Pulau Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), melayangkan sejumlah pertanyaan terkait penghitungan angka kemiskinan kepada saya via Facebook. Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya. Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya. " Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat nian kawan yang satu ini. Kecil-kecil sudah jadi pejabat dan presenta

Dimensi Kemiskinan di Indonesia

          Jumlah Penduduk Rentan Miskin Cukup Tinggi Melonjaknya angka kemiskinan pada tahun 2006 menunjukkan salah satu dimensi penting kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang hidup dengan pengeluaran di sekitar garis kemiskinan (rentan miskin). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS panel) yang dilakukan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan di sekitar garis kemiskinan nasional cukup besar sehingga menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin seandainya terjadi guncangan ekonomi. Jika yang digunakan adalah indikator garis kemiskinan Bank Dunia [2] , yakni sebesar 1 dollar dan 2 dollar PPP per hari, maka persentase penduduk miskin pada tahun 2006 masing-masing adalah 7,4 persen dan 49,0 persen. Tebel 3. Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun       Sumber GK per Hari GK per Bulan Pers