Langsung ke konten utama

Dimensi Kemiskinan di Indonesia


          Jumlah Penduduk Rentan Miskin Cukup Tinggi
Melonjaknya angka kemiskinan pada tahun 2006 menunjukkan salah satu dimensi penting kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang hidup dengan pengeluaran di sekitar garis kemiskinan (rentan miskin). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS panel) yang dilakukan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan di sekitar garis kemiskinan nasional cukup besar sehingga menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin seandainya terjadi guncangan ekonomi.
Jika yang digunakan adalah indikator garis kemiskinan Bank Dunia[2], yakni sebesar 1 dollar dan 2 dollar PPP per hari, maka persentase penduduk miskin pada tahun 2006 masing-masing adalah 7,4 persen dan 49,0 persen.

Tebel 3. Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun      
Sumber
GK per Hari
GK per Bulan
Persentase Penduduk Miskin
(1)
(2)
(3)
(4)
BPS
Rp 5.066,57,_
  = Rp 151.997,_
17,8
= US$ 1.55 PPP
Bank Dunia
US$ 1 PPP
= Rp 97.218,_
7,4
= Rp 3.240,60_
US$ 2 PPP
  = Rp 194.439,_
49,0

= Rp 6.481,60_
Sumber : Memahami Data Strategis yang Dihasilkan BPS

Hal ini menunjukkan besarnya jumlah penduduk yang hidup dengan pengeluaran per hari di antara 1 dollar dan 2 dollar PPP, yakni mencapai 42 persen. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa banyak penduduk tidak miskin di Indonesia pada dasarnya sangat rentan untuk menjadi miskin (hampir miskin) atau tingkat kerentanan untuk jatuh miskin di Indonesia cukup tinggi, dimana perbedaan antara penduduk miskin dan hampir miskin sangat tipis. Dengan demikian, jika sedikat saja terjadi guncangan ekonomi, jumlah penduduk miskin akan meningkat secara signifikan.
 Disparitas Kemiskinan Sangat Tinggi
Tingginya jumlah penduduk rentan miskin bukanlah satu-satunya dimensi penting dari kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Dimensi lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah tingginya disparitas kemiskinan, baik secara regional (antar region) maupun antar daerah perdesaan dan perkotaan.
Perbedaan karakteristik yang sangat tajam antar berbagai wilayah yang tersebar luas di seluruh kepulauan Indonesia dan perbedaan hasil kemajuan pembangunan antar wilayah menyebabkan kondisi kemiskinan yang terjadi juga bervariasi. Gambar 4 dengan jelas menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan antar propinsi sangat bervariasi. Tingkat kemiskinan terendah dimiliki oleh propinsi DKI Jakarta, yakni sebesar 4,29 persen dan tingkat kemiskinan tertinggi dimiliki oleh propinsi Papua yang mencapai 37,08 persen. Pada Gambar 4 secara jelas juga dapat dilihat bahwa secara umum propinsi-propinsi di kawasan timur Indonesia (KTI) memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibanding dengan propinsi-propinsi di kawasan barat Indonesia (KBI).

Sementara itu, jika dilihat dari sisi sebaran penduduk miskin, sebagian besar penduduk miskin terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 5, lebih dari 57 persen penduduk miskin berada di Jawa, 21 persen di Sumatera dan 22 persen di Kalimantan, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Pemusatan kantong kemiskinan di Pulau Jawa erat kaitannya dengan pola persebaran penduduk yang sebagian besar berada di Pulau ini. Meskipun luasnya hanya sepertiga dari luas seluruh daratan Indonesia, tetapi Pulau Jawa merupakan tempat tinggal bagi sekitar 60 persen penduduk Indonesia yang mencapai sekitar 237,6 juta (BPS, 2010). 
Daerah Perdesaan Merupakan Kantong Kemiskinan
Disparitas kondisi kemiskinan juga terjadi antara daerah perkotaan dan perdesaan. Tabel 2 dan Gambar 1 menunjukkan bahwa semanjak krisis tahun 1997 sampai tahun 2009, persentase jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan selalu lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah perkotaan. Hal ini sepertinya disebabkan oleh ketimpangan kemajuan pembangunan yang terjadi antara daerah perkotaan dan perdesaan. Selama beberapa dekade terakhir, pembangunan yang dilakukan cenderung bias ke kota (urban bias) sehingga menyebabkan keadaan sosial ekonomi penduduk di daerah perdesaan jauh tertinggal di bandingkan dengan daerah perkotaan.



Gambar 6 menunjukkan bahwa kondisi distribusi penduduk miskin menurut daerah (desa-kota) selama lebih dari satu dekade terakhir tidak banyak berubah. Daerah perdesaan tetap menjadi kantong kemiskinan. Sekitar 2/3 dari total penduduk miskin terdapat di daerah perdesaan. Sekedar merinci, pada tahun 1998, dari total penduduk miskin yang mencapai 49 juta orang, sekitar 64,4 persennya terdapat di daerah perdesaan. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi selama sepuluh tahun kemudian. Pada tahun 2009, misalnya, dari sekitar 35 juta penduduk miskin, sekitar 63,4 persen di antaranya terdapat di daerah perdesaan. Ini artinya, selama sebelas tahun, meskipun terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 14 juta orang, share daerah perdesaan terhadap jumlah penduduk miskin tidak banyak berubah, yakni hanya berkurang sebesar 1 persen.
          Fakta di atas juga menunjukkan bahwa pembangunan yang telah dilakukan selama satu dekade terakhir belum berhasil mempersempit jurang ketimpangan antara daerah perkotaan dan perdesaan. Keadaan sosial ekonomi penduduk daerah perdesaan tetap jauh tertinggal dibanding penduduk perkotaan. Padahal, usaha pengurangan kemiskinan seharusnya lebih difokuskan pada upaya memajukan sektor perdesaan. Perekonomian perdesaan harus diberdayakan sehingga dapat berperan besar dalam pengurangan kemiskinan. Pertumbuhan di sektor perdesaan, baik melalui sektor pertanian maupun nonpertanian merupakan instrumen yang paling powerfull bagi upaya pengurangan kemiskinan secara nasional. Pasalnya, sebagain besar penduduk miskin terdapat di daerah perdesaan.

[2] Terkait program-program pengentasan kemiskinan yang merupakan realisasi dari komitmen dalam MDGs (Millenium Development Gools) untuk mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal saparuhnya pada tahun 2015, dimana Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan antar negara yang comparable (dapat diperbandingkan). Maka digunakan ukuran 1 dollar dan 2 dollar per hari sebagai instrument untuk menentukan miskin tidaknya seseorang dari sisi pendapatan. Penting untuk diperhatikan bahwa 1 atau 2 dollar yang dimaksud adalah dollar PPP (Purchasing Power Parity) atau paritas daya beli, bukan dollar dari sisi currency atau nilai tukar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke s

Catatan Penurunan Kemiskinan 2013

Pada Juni 2013 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis potret kemiskinan kondisi Maret 2013. BPS melaporkan, jumlah penduduk miskin negeri ini mencapai 28,07 juta jiwa atau sekitar 11 ,37 persen dari total penduduk. Jika dibandingkan dengan kondasi Maret tahun lalu, berarti telah terjadi penurunan tipis 0,59 persen atau sebesar 1,06 juta jiwa .  Di tengah luar biasanya energi yang telah dicurahkan pemerintah melalui berbagai program penanggulangan kemiskinan, laporan BPS ini kembali mengkonfirmasi, tren penurunan kemiskinan terus berlanjut. Dan sayangnya, dengan kecepatan yang lambat.  Konsekwensinya, sasaran tingkat kemiskinan nasional sebesar 8 hingga 10 persen tahun depan seperti ditetapkan pada Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional bakal sulit (baca: mustahil) dicapai. Pasalnya , dampak kenaikan harga BBM Juni lalu dipastikan bakal memicu lonjakan jumlah penduduk miskin minimal 1 persen pada 5-6 bulan mendatang.  Dalam beberapa tahun terakhir, kin