Langsung ke konten utama

Indonesia Pusat Kemiskinan Asia Tenggara

Laporan bertajuk ‘Financing the Sustainable Development Goals in ASEAN: Strengthening integrated national financing frameworks to deliver 2030 Agenda’ yang dirilis belum lama ini  menyebutkan bahwa secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) telah berhasil mencapai sebagian besar target the Millenium Development Goals (MDGs) selama kurun waktu 2005 hingga 2015.

Namun demikian, masih ada sejumlah catatan yang mesti dibereskan. Dan, sebagian catatan tersebut berkait erat dengan peran Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN. Diketahui, ASEAN merupakan rumah bagi lebih dari 600 juta jiwa yang tersebar di 10 negara, dan lebih dari sepertiga dari total jumlah tersebut merupakan penduduk Indonesia.

Terkait masalah kekurangan gizi (malnutrisi), misalnya, Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kekurangan gizi kronik yang tercermin dari tingginya prevalensi balita bertubuh kerdil (stunting). Laporan ini menyebutkan, 36 persen balita di Tanah Air bertubuh kerdil. Angka ini paling tinggi dibanding negara-negara lain di ASEAN. Faktanya, kita lebih buruk dari Myanmar (35 persen) dan Kamboja (32 persen). Selain itu, sekitar 14 persen atau 3,4 juta anak Indonesia memiliki berat badan kurang yang merupakan representasi kekurangan gizi akut.

Pusat kemiskinan
Dalam soal kemiskinan, diperkirakan sebanyak 132 juta orang di kawasan ASEAN berhasil dientaskan dari kemiskinan ekstrim sepanjang 2005-2015. Angka ini mencapai 12 persen dari total jumlah penduduk dunia yang berhasil keluar dari kemiskinan selama era MDG.

Indonesia dan Vietnam merupakan kontributor utama penurunan tersebut. Sekitar 90 persen penurunan kemiskinan di kawasan ASEAN sepanjang 2005-2015 terjadi di kedua negara ini. Capaian Indonesia boleh dibilang cukup mengesankan dengan rata-rata penurunan kemiskinan mencapai 10 hingga 15 persen per tahun. Alhasil, tidak kurang dari 40 juta orang berhasil keluar dari kemiskinan ekstrim di Indonesia dalam kurun waktu antara 2006 dan 2014.

Sekadar diketahui, kemiskinan ekstrim merujuk pada pendapatan kurang dari 1.9 dolar per kapita per hari berdasarkan paritas daya beli tahun 2011. Ukuran kemiskinan ini biasa disebut garis kemiskinan internasional. 

Saat ini, diperkirakan sekitar 36 juta orang di kawasan ASEAN masih hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Mayoritas dari total jumlah ini terdapat di Indonesia dan Filipina. Jumlah penduduk miskin di kedua negara ini mencakup 90 persen dari total penduduk miskin di ASEAN. Indonesia sendiri menyumbang sekitar 60 persen dari total jumlah tersebut.


Indonesia nampaknya akan tetap menjadi pusat kemiskinan di kawasan ASEAN dalam beberapa tahun mendatang. Hal ini disebabkan kinerja penurunan kemiskinan yang boleh dibilang kurang menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir dan sepertinya akan terus berlanjut hingga beberapa tahun ke depan.

Faktanya, laju penurunan kemiskinan berjalan lambat dan cenderung stagnan selama tiga tahun terakhir. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin hanya berkurang dari 28,28 juta jiwa atau sekitar 11,25 persen dari total penduduk Indonesia pada Maret 2014 menjadi 27,77 juta jiwa (10,64 persen) pada Maret 2017. Itu artinya, dalam kurun waktu tersebut, jumlah penduduk miskin hanya berkurang sekitar 500 ribu orang, dan penurunan tingkat kemiskinan kurang dari satu persen.



Hal ini sejatinya memberi konfirmasi bahwa pertumbuhan ekonomi nasional yang rata-rata hanya sekitar 5 persen per tahun selama tiga tahun terakhir jauh dari memadai untuk menurunkan tingkat kemiskinan secara signifikan. Selain itu, dampak pertumbuhan ekonomi sebesar itu terhadap penurunan kemiskinan kenyataannya juga tereduksi oleh kesenjangan ekonomi antara kelompok masyarakat yang cukup lebar. Ini tercermin melalui angka gini rasio yang mencapai 0,4.

Celakanya, hasil proyeksi sejumlah lembaga internasional, seperti Dana Moneter Internasional, Bank Pembangunan Asia, dan Bank Dunia menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2017 hingga 2018 diperkirakan hanya berada pada kisaran 5,1 – 5,3 persen.

Kalau mau realistis, berdasarkan angka-angka ini pemerintah nampaknya bakal kesulitan untuk merealisasikan target angka kemiskinan sebesar 7-8 persen pada 2019 sebagaimana yang telah ditetapkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019. Tanpa kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ekstrim, target ini nampaknya mustahil akan terwujud.

Fokus di pedesaan
Faktanya, kemiskinan di Tanah Air merupakan fenomena pedesaan dan sektor pertanian (tanaman bahan makanan). Data BPS menunjukkan bahwa sekitar 63 persen masyarakat miskin merupakan penduduk pedesaan dan mayoritas sangat bergantung pada kegiatan usaha tani.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) memperlihatkan bahwa sekitar 60 persen kepala rumah tangga miskin di pedesaan mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama. Hal ini memberi konsekuensi bahwa selain dengan memacu pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan pemerataan, keberhasilan percepatan penanggulangan kemiskinan hanya akan maksimal jika energi yang ada benar-benar difokuskan pada pembangunan wilayah pedesaan dan sektor pertanian.


Terkait hal ini, efektivitas penggunaan dana desa dalam mendukung upaya penanggulangan kemiskinan di wilayah pedesaan harus dioptimalkan. Begitupula dengan puluhan triliun anggaran yang dialokasikan untuk mewujudkan swasembada pangan (padi, jagung, dan kedelai), mestinya ini dapat  meningkatkan kesejahteraan petani dan buruh tani secara signifikan. Apalah artinya peningkatan produksi pangan dan capaian swasembada bila pada saat yang sama sebagian besar petani dan buruh tani masih hidup dalam jeratan kemiskinan. (*)

Komentar


  1. Oiya ngomongin kemiskinan, kayaknya nyambung deh sama artikel yang saya temuin baru-baru ini. Di artikel ini disebutkan kalo ada beberapa kesalahan yang bikin seseorang ga pernah jadi kaya. Cek di sini ya: Kesalahan yang bikin kamu tidak pernah kaya, wajib dihindari!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke s

Dimensi Kemiskinan di Indonesia

          Jumlah Penduduk Rentan Miskin Cukup Tinggi Melonjaknya angka kemiskinan pada tahun 2006 menunjukkan salah satu dimensi penting kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang hidup dengan pengeluaran di sekitar garis kemiskinan (rentan miskin). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS panel) yang dilakukan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan di sekitar garis kemiskinan nasional cukup besar sehingga menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin seandainya terjadi guncangan ekonomi. Jika yang digunakan adalah indikator garis kemiskinan Bank Dunia [2] , yakni sebesar 1 dollar dan 2 dollar PPP per hari, maka persentase penduduk miskin pada tahun 2006 masing-masing adalah 7,4 persen dan 49,0 persen. Tebel 3. Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun       Sumber GK per Hari GK per Bulan Pers

Pertanyaan Tentang Kemiskinan dari Mentawai

Suatu tempo, seorang sahabat nun di Pulau Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), melayangkan sejumlah pertanyaan terkait penghitungan angka kemiskinan kepada saya via Facebook. Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya. Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya. " Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat nian kawan yang satu ini. Kecil-kecil sudah jadi pejabat dan presenta