Diketahui,
untuk menghitung jumlah orang miskin di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS)
menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan dasar (makanan dan non makanan).
Dalam prakteknya, nilai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh setiap
orang-agar tidak terkategori miskin-dinyatakan dalam jumlah rupiah tertentu
yang kemudian disebut garis kemiskinan (GK). Orang dikatakan miskin jika dalam
sebulan pengeluarannya lebih kecil dari nilai GK.
Kelemahan
mendasar metode ini adalah defenisi kemiskinan yang sejatinya luas dan
multidimensi tereduksi hanya pada dimensi ekonomi saja. Maklum, tidak semua
dimensi yang menjelaskan kemiskinan (sebagian besar kualitatif) dapat diukur
secara statistik/kuantitatif. Padahal, di sisi lain pemerintah sangat
membutuhkan statistik kemiskinan sebagai dasar pijakan perumusan dan alat
evaluasi berbagai kebijakan anti kemiskinan. Dengan metode yang digunakan BPS
selama ini, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi meskipun tidak didasarkan pada
metode yang mampu mengakomodir semua dimensi kemiskinan.
Pada
September 2011, GK yang digunakan BPS untuk menghitung jumlah orang miskin
sebesar Rp263.594 di perkotaan dan Rp223.181 di perdesaan. Itu artinya, menurut
BPS, di perkotaan, Si Miskin adalah orang yang pengeluaran perbulannya kurang
dari Rp263.594, sementara di perdesaan, Si Miskin adalah orang yang
pengeluaran perbulannya kurang dari Rp263.594. Dengan nilai GK sebesar
itu diperoleh: jumlah orang miskin di perkotaan sebesar 10,95 juta orang dan di
perdesaan sebesar 29,89 juta orang.
Bagi
sebagian orang, bahkan banyak orang, nilai GK yang digunakan BPS di atas
terlalu kecil dan kurang realistis. Tidak jarang, dengan nilai GK yang dianggap
terlalu kecil itu, yang sejatinya didasarkan pada sebuah metode baku, BPS
dituduh dengan sengaja ‘mempermainkan’ nilai GK sehingga diperoleh angka
kemiskinan yang sesuai dengan kehendak pemerintah, dalam perkataan lain
angka kemiskinan telah dipolitisasi. BPS pun menjadi sasaran berbagai tuduhan
miring dari khalayak, misalnya, ABS (asal bapak senang), tak lagi independen,
dan alat penguasa.
Argumen
pengemis tua
Salah
satu argumen yang nampaknya cukup kuat untuk mempersoalkan realistis atau
tidaknya GK yang digunakan BPS dalam menetapkan siapa Si Miskin adalah apa yang
saya sebut “argumen pengemis tua.”Argumen ini dapat dijelaskan melalui
ilustrasi berikut:
Misalkan,
Sarima (55 tahun) adalah seorang pengemis tua yang sehari-hari
menjalankan profesinya sebagai peminta-minta di jembatan penyebrangan menuju
halte bus Transjakarta Bidaracina, Jakarta Timur. Setiap harinya, secara
rata-rata, dia bisa memperoleh uang sebesar Rp20.000 dari hasil meminta-minta.
Itu artinya, dalam sebulan, total pendapatan Sarima dari hasil meminta-minta
sebesar Rp600.000 (asumsi: satu bulan ada 30 hari).
Jika
menggunakan GK sebesar Rp263.594, itu artinya, Sarima, Si Pengemis Tua,
yang sehari-hari berpakaian compang-camping, tampak lusuh, dan tinggal di
sebuah gubuk reyot di bantaran Kali Ciliwung tidak dianggap miskin menurut
konsep BPS. Tentu, ini sangat tidak realistis dan betul-betul bertentangan
dengan akal sehat. Dengan demikian, dari kasus ini terbukti sudah, GK yang
digunakan BPS memang tidak realistis.
Tapi,
tunggu dulu. Terlalu terburu-buru sebetulnya menyimpulkan GK yang digunakan BPS
tidak realistis berdasarkan kasus di atas tanpa melakukan penelaahan lebih
jauh.
Selama
ini, penghitungan jumlah orang miskin yang dilakukan BPS didasarkan pada hasil
Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). Survei ini mencatat pengeluaran
(makanan dan non makanan) sebanyak 68.800 sampel rumah tangga di seluruh
Indonesia.
Misalkan,
keluarga Sarima yang terdiri dari 3 anggota rumah tangga (Sarima tinggal
bersama isterinya Hariswati dan anaknya Anwar) terpilih sebagai sampel SUSENAS.
Jika hasil meminta-minta Sarima merupakan satu-satunya sumber pendapatan dalam
keluarganya, maka setiap bulan hanya akan ada sekitar Rp600.000 uang yang
dikeluarkan dalam keluarga tersebut. Dengan demikian, pegeluaran per bulan keluarga Sarima
yang tercatat dalam SUSENAS juga sekitar Rp600.000 (asumsi: semua pendapatan
Sarima habis dipakai untuk konsumsi dan tidak ada yang ditabung). Dengan lain
perkataan, pengeluaran per kapita per bulan setiap anggota keluarga
Sarima adalah sebesar Rp200.000 (note; pendekatan yang digunakan dalam
SUSENAS dalah rumah tangga, bukan individu). Itu artinya, semua anggota keluarga
Sarima (termasuk Sarima Si Pengemis Tua) dianggap miskin berdasarkan hasil
SUSENAS karena berpengeluaran kurang dari Rp263.594 per bulan.
Permisalan
lain, dengan nilai GK sebesar Rp263.594, sebuah keluarga di perkotaan dengan
empat orang anggota akan terkategori miskin (setiap anggota) jika pengeluaran
(bisa bersumber dari pendapatan salah satu atau lebih anggota rumah tangga) per
bulan keluarga tersebut kurang dari Rp1.054.376 per bulan.
Berdasarkan
dua permisalan ini, realistiskah GK yang digunakan BPS selama ini? Silahkan
Anda menyimpulkan sendiri. Dan, apapun kesimpulan Anda, saya sarankan untuk
berhati-hati dan tak gampang percaya dengan pengemis tua –apalagi muda–karena
banyak di antara mereka sejatinya berpunya dan tak layak disebut miskin. Punya
Blackbary dan sering makan di KFC, misalnya. (*)
Komentar
Posting Komentar