dimuat di Harian Kontan
(8 Maret 2012) dan Harian Malut Post
SETELAH sempat mengalami tarik
ulur, Pemerintah akhirnya dengan berat hati memutuskan untuk menaikkan Harga
Bahan Bakar Minyak (BBM) terhitung mulai 1 April 2012 mendatang. Keputusan ini
dibarengi optimisme: ekses inflasi yang ditimbulkan dapat dikelola dengan baik
(manageable)
serta kemampuan untuk menjaga dan melindungi daya beli mereka yang terkena
dampak─penduduk miskin dan
hampir miskin (kelompok menengah ke bawah).
Sejak era Orde Baru hingga
kini, catatan pengentasan kemiskinan di Indonesia sebetulnya cukup mengesankan,
terekam oleh data statistik yang ada. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menunjukkan, sepanjang periode 1976-2011, jumlah penduduk miskin di Indonesia
secara umum terus menurun secara konsisten.
BPS mencatat, pada tahun
1976, jumlah penduduk miskin mencapai 54,2 juta orang atau sekitar 40 persen
dari total penduduk saat itu. Bandingkan dengan kondisi dewasa ini! Pada
September 2011 lalu, misalnya, jumlah penduduk miskin menurut laporan BPS
mencapai 29,89 juta orang atau sekitar 12,36 persen dari total penduduk
Indonesia. Itu artinya, dalam kurun waktu 35 tahun, ada sekitar 24 juta orang
yang berhasil dientaskan dari kemiskinan. Catatan yang sudah barang tentu
sangat mengesankan.
Inflasi dan jumlah Si
Miskin
Sepanjang periode
1976-2011, BPS mencatat, tren penurunan jumlah penduduk miskin hanya dua kali
terkoreksi, yakni pada tahun 1998 dan tahun 2006. Di tahun 1998, jumlah
penduduk miskin melonjak drastis sebagai akibat badai krisis ekonomi yang
menghempaskan perekonomian nasional ke titik nadir.
Kala itu, perekonomian
nasional mengalami kontraksi dan collepse.
Pertumbuhan ekonomi terkoreksi sangat dalam hingga menembus angka -13,4 persen.
Kondisi perekonomian kian mengkhawatirkan karena meroketnya harga barang-barang
kebutuhan pokok. Inflasi pun menembus angka 77,63 persen.
Alhasil, krisis tahun
1998 betul-betul memukul telak daya beli sebagain besar penduduk negeri ini,
khususnya kelompok menengah ke bawah. Kondisi ini mengakibatkan penduduk miskin
kian bertambah miskin dan banyak penduduk hampir miskin akhirnya jatuh miskin.
BPS mencatat, pada tahun
1998, jumlah penduduk miskin mencapair 48,99 juta orang (24,23 persen),
mengalami lonjokan sekitar 15 juta orang dibandingkan dengan tahun 1996. Apa
yang terjadi di tahun 1998 tidak jauh berbeda dengan kondisi kemiskinan pada tahun
1978. Dengan lain perkataan, krisis tahun 1998 telah menjadikan capaian
pengentasan kemiskinan mengalami kemunduran sejauh dua dekade. Pasca krisis
tahun 1998, jumlah penduduk miskin terus mengalami penurunan, dengan laju
penurunan yang lebih lambat jika dibandingkan dengan periode sebelum krisis.
Lonjakan jumlah penduduk
miskin kembali terjadi untuk kedua kalinya pada tahun 2006. Kali ini, pemicunya
adalah kebijikan pemerintah yang tidak populis, yakni keputusan untuk menaikkan
harga Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai respon terhadap naiknya harga minyak
dunia pada tahun 2005.
Kebijakan tidak populis
itu memacu inflasi hingga menembus angka 17,11 persen pada tahun 2005.
Harga-harga kebutuhan pokok melonjak, terutama beras. Padahal, sebagian besar
pendapatan penduduk kelompok menengah ke bawah dialokasikan untuk membeli
beras. Selain itu, kontribusi komoditas ini terhadap pembentukan garis
kemiskinan BPS sangat dominan, pada September 2011 lalu, misalnya, mencapai
26,6 persen di perkotaan dan 33,7 persen di perdesaan (BPS, 2012). Alhasil,
seperti halnya krisis tahun 1998, kenaikan harga BBM pada tahun 2005 juga
memukul telak daya beli penduduk miskin dan hampir miskin sehingga berujung
pada lonjakan jumlah penduduk miskin.
BPS mencatat, pada tahun
2006, jumlah penduduk miskin mencapai 39,30 juta orang (17,75), mengalami
lonjakan sebesar 4,2 juta orang dari tahun 2005. Untungnya, kala itu,
pemerintah cukup sigap dalam menjaga daya beli penduduk miskin dan hampir
miskin dari gempuran inflasi dengan menggelentorkan dana Bantuan Langsung Tunia
(BLT) sebagai bentuk kompensasi kepada sekitar 19,1 juta rumah tangga miskin
dan hampir miskin yang diperkirakan terkena dampak kenaikan harga BBM. Terlepas
dari segala kekurangannya, tanpa program bantuan tunai (cash transfer) seperti itu, dapat dipastikan,
lonjakan jumlah penduduk miskin akan lebih besar lagi.
Pengalaman pada tahun
1998 dan 2006 menunjukkan kepada kita bahwa inflasi sangat bertalian erat
dengan perubahan jumlah penduduk miskin. Shock yang terjadi pada variabel
ini dapat memicu lonjakan penduduk miskin.
Daya beli harus dijaga
Selama ini, BPS
menggunakan pendekatan kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic need
approach) yang dikuantifikasi ke dalam nominal rupiah tetentu (garis
kemiskinan) ketika menghitung
jumlah penduduk miskin. Dengan
metode seperti ini, perubahan jumlah penduduk miskin pada dasarnya hanya
dipengaruhi oleh dua hal: pendapatan masyarakat dan pergerakan nilai garis
kemiskinan (harga-harga kebutuhan dasar). Jumlah penduduk miskin dipastikan
bakal naik jika peningkatan pendapatan masyarakat tidak mampu mengimbangi laju
kenaikan nilai garis kemiskinan yang digerakan oleh inflasi. Pada kondisi ini,
daya beli masyarakat jatuh. Dan inilah sebetulnya yang terjadi pada tahun 1998
dan tahun 2006 silam.
Apa yang terjadi pada
tahun 2006 sebetulnya sangat erat kaitannya dengan kenyataan bahwa salah satu
karakteristik persoalan kemiskinan di Indonesia adalah tingginya jumlah
penduduk hampir miskin (near poor), yakni mereka yang menurut BPS memiliki
nilai pengeluaran tidak lebih dari 20 persen di atas garis kemiskinan. Pada
September 2011 lalu, misalnya, jumlah mereka telah mencapai 27,82 juta orang
atau sekitar 11,5 persen dari total penduduk Indonesia (BPS, 2011).
Sehari-hari, kondisi kesejahteraan─daya beli─mereka
sejatinya tidak jauh berbeda dengan penduduk miskin, bahkan mungkin sama.
Karenanya, mereka sangat rentan untuk jatuh miskin jika terjadi gejolak ekonomi
yang memukul telak daya beli mereka, inflasi yang tinggi, misalnya.
Karena itu, setiap
kebijakan pemerintah yang berujung pada naiknya angka inflasi harus dibarengi
dengan kecermatan mengenai dampaknya terhadap lonjakan penduduk miskin,
termasuk kebijakan untuk menaikkan harga BBM yang akan mulai diterapkan pada 1
April 2012 nanti. Pemerintah harus betul-betul menjamin bahwa ekses inflasi
yang terjadi dapat dikelola dengan baik. Daya beli penduduk miskin dan hampir
miskin juga harus dijaga. Untuk itu, program cash
transfer seperti halnya BLT
perlu dilakukan oleh pemerintah, tentunya dengan sejumlah penyempurnaan: varian
jenis kompensasi yang diberikan harus diperlus dan lebih tepat sasaran. Jika
tidak, dapat dipastikan, Si Miskin akan semakin miskin, dan jumlahnya akan
melonjak. (*)
Komentar
Posting Komentar