Selama ini, pemerintah kerap dituduh “berbohong” terkait sejumlah indikator perekonomian yang tersaji di ruang publik. Pemicunya tidak lain adalah kesenjangan antara informasi yang terwartakan melalui indikator-indikator tersebut dengan realitasyang dirasakan oleh masyarakat.
Tak bisa ditampik, gambaran yang diperoleh dari sejumlah indikator perekonomian kerap tidak sejalan dengan fakta keseharian yang dirasakan oleh masyarakat. Optimisme yang tergambar lewat besaran angka-angka statistik kerap kontradiksi dengan fakta keseharian yang dialami oleh sebagian besar penduduk. Ambil contoh, angka kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi, misalnya.
Sejak tahun 2006, Badan Pusat Statistik (BPS) selalu melaporkan bahwa kemiskinan terus menurun secara konsisten. Sementara pada saat yang sama, publik mendapati kenyataan sebaliknya: kondisi kemiskinan kian mengenaskan.
Fakta keseharian, yakni apa yang dilihat sehari-hari, adalah alasan kuat yang menjadikan mereka sangsi, bahkan tak percaya dengan besaran angka-angka kemiskinan yang dirilis oleh BPS. Bagaimana bisa kemiskinan dikatakan menurun jumlahnya, sementara pada saat yang sama jumlah pengemis terus meningkat? Banyak penduduk miskin mati gantung diri karena tak kuat lagi menahan himpitan beban ekonomi? Sungguh tidak masuk akal!
Karenanya, jangan heran kalau kepercayaan publik terhadap statistik kemiskinan BPS terus menipis. Bahkan lebih dari itu, ada sangkaan telah terjadi manipulasi dalam penghitungannya dan telah diramu sedemikian rupa untuk menyokong pencitraan pemerintah. Meskipun sejatinya, statistik kemiskinan tersebut diperoleh dari hasil pendataan dan telah melewati proses validasi ilmiah yang ketat. Publik tak mau peduli! Kebohongan dan rekayasa. Hanya kata-kata itu yang terlintas dalam benak mereka.
Begitupula dengan pertumbuhan ekonomi, yang dihitung dari perkembangan relatif Produk Domestik Bruto (PDB), tentu terasa janggal kala BPS melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi hampir selalu di atas 6 persen dalam beberapa tahun terakhir –sejak tahun 2006, dan pendataan per kapita saat ini telah mencapai Rp30,8 juta per tahun, sementara pada saat yang sama sebagian besar masyarakat justru merasa kian terpuruk secara ekonomi, kondisi ekonomi (kesejahteraan) mereka justru kian memburuk.
Alhasil, seperti halnya angka kemiskinan, publik pun menjadi sangsi dan tak percaya. Dan, ini bukan hanya fenomena khas Indonesia. Di negara-negara maju pun, seperti Perancis dan Inggris, kepercayaan publik terhadap statistik resmi (official statistics) telah mencapai titik nadir. Di kedua negara tersebut, hanya sepertiga warga yang percaya terhadap statistik resmi.
Bias
Sebetulnya, pemerintah tidak berbohong terkait besaran indikator-indikator perekonomian yang disangsikan oleh publik. Pokok persoalannya adalah pada tepat atau tidaknya indikator-indikator tersebut ketika digunakan untuk menilai kinerja pemerintah.
PDB dan pertumbuhannya, misalnya, selama ini, secara politis telah “disalahgunakan” sebagai proksi kesajahteraan dan kemajuan suatu negara. Ini terjadi secara masif, termasuk di Indonesia. Padahal, tak satu pun ahli-ahli statistik pemerintah yang memosisikan PDB atau pertumbuhan ekonomi sebagai indikator kesejahteraan.
Bagi mereka, PDB adalah PDB, sebuah deskripsi tentang produksi total nasional yang mungkin bermanfaat bagi pemerintah terkait formulasi dan evaluasi kebijakan. Tidak lebih dari itu. Simon Kuznets sendiri, sang kreator apa yang disebut sebagai neraca pendapatan nasional (mencakup PDB), tak pernah menganggap PDB hasil ciptaannya sebagai indikator kesejahteraan. Sebaliknya, Kuznets justru khawatir, indikator yang sejatinya digunakan untuk merangkum aktivitas perekonomian secara agregat itu disalahartikan sebagai indikator kesejahteraan.
Penggunaan PDB–secara tunggal–dapat mengarah pada kesimpulan yang bias tentang arah pembangunan. Jika hanya fokus pada peningkatan PDB atau pertumbuhan ekonomi, pemerintah bisa saja terjebak pada kesimpulan keliru: kinerja perekonomian nasional memuaskan, sementara pada saat yang sama realitas kehidupan masyarakat justru kian memburuk.
Sebagai indikator kinerja pembangunan, kelemahan PDB telah lama disoal oleh para ahli ekonomi dan ahli statistik. Kritik dan ketidakpuasan terhadap PDB telah menelorkan sejumlah indikator lain untuk mengukur kemajuan ekonomi, seperti IPM, Indek Kesejahteraan (Kanada), dan Indek Kebahagiaan (Thailand dan Butan).
Di tahun 2008, bahkan telah dibentuk sebuah komisi yang bertugas meneliti akurasi dan validitas penggunaan PDB sebagai satu-satunya indikator kemajuan ekonomi suatu negara. Komisi ini diberi nama Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial, yang dibentuk oleh tiga ekonom kondang dunia, yakni Joseph Stiglitz (penerima Hadiah Nobel Ekonomi 2001), Amartya Sen (penerima Hadiah Nobel Ekonomi 1998), dan Jean- Paul Fitoussi.
Kelemahan mendasar dari PDB adalah ketika indikator ini merangkum aktivitas perekonomian yang begitu luas dan kompleks hanya dalam satu angka. Amartya Sen, sang kreator Indeks Pembangunan Manusia (IPM), menganggap hal ini terlalu vulgar.
Terang saja, ada banyak informasi yang hilang dan tidak tergambar melalui satu angka tersebut. Misalnya, seberapa besar kerusakan lingkungan yang terjadi sebagai akibat aktivitas ekonomi (produksi) yang sejatinya dapat mengancam keberlanjutan pembangunan –valuasi nilai kerusakan lingkungan selama ini luput dalam penghitungan PBD, atau siapa saja sebetulnya yang diuntungkan dengan besaran angka PDB dan pertambahannya, apakah seluruh masyarakat (kelompok pendapatan) atau segelintir orang saja.
Indonesia adalah contoh yang pas terkait hal ini. Pertumbuhan ekonomi yang mengesankan kenyataannya memiliki korelasi yang lemah dengan peningkatan kesejahteraan penduduk. PDB terus tumbuh mengesankan, namun pada saat yang sama penurunan jumlah penduduk miskin berjalan begitu lambat. Itupun dengan catatan, garis kemiskinan yang digunakan terlampau rendah menurut sejumlah kalangan.
Jika ditelisik, lemahnya dampak pertumbuhan ekonomi terhadap penurunan kemiskinan disebabkan oleh struktur pertumbuhan ekonomi yang lebih digerakkan oleh sektor non-tradable (jasa) ketimbang sektor tradable (riil). Padahal, sebagain besarangkatan kerja (sekitar 60 persen) “mengais nasi” di sektor riil.
Fakta ini menjadikan distribusi pendapatan kian timpang karena kenaikan pendapatan sebagai buah dari pertumbuhan ekonomi hanya terjadi secara signifikan pada mereka yang bekerja di sektor jasa. Dan ini tentu tidak tergambar pada angka –tunggal –PDB atau pertumbuhan ekonomi. Fakta ini justru tergambar melalui indikator lain, yakni rasio gini, yang merupakan ukuran ketimpangan distribusi pendapatan. Yang dalam beberapa tahun terakhir nilainya terus meningkat. Saat ini, rasio gini telah menembus rekor tertinggi, yakni sebesar 0.41. Artinya, ketimpangan distribusi pendapatan telah memasuki skala medium.
Informasi yang diberikan oleh perkembangan rasio gini dan kemiskinan tentu akan membuat kita mempertimbangkan kembali jawaban dari pertanyaan: apakah pemerintah telah berhasil mewujudkan tujuan asasi dari pembangunan, yakni terwujudnya kesejahteraan masyarakat, dengan angka-angka PDB atau pertumbuhan ekonomi yang mengesankan? Itulah sebab, dengan segala kelemahannya, PDB tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya indikator untuk menilai kinerja pemerintah. Tetapi dibutuhkan indikator-indikator lain, seperti rasio gini yang telah dicontohkan sebelumnya. Jika tidak, kesimpulan akan bias. (*)
Komentar
Posting Komentar