Pemerintah telah menetapkan 11 prioritas pembangunan
nasional tahun 2009-2014. Di antara kesebelas prioritas itu, penanggulangan
kemiskinan berada di urutan keempat. Tidak main-main, persentase penduduk
miskin dipatok harus di bawah 10 persen pada tahun 2014. Itu artinya, persentase
penduduk miskin harus turun minimal satu persen per tahun.
Sayangnya, target ambisius itu kenyataannya jauh panggang
dari api. Data statistik menunjukkan, pemerintah nampaknya hanya jago membuat
target, tapi lemah dalam mewujudkannya. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat,
sepanjang Maret 2009 – Maret 2012, penurunan jumlah penduduk miskin berjalan
lamban. Secara rata-rata, kurang dari satu persen per tahun. Padahal, di sisi
lain kita tahu, dana yang telah digelontorkan pemerintah untuk segala rupa
program pengentasan kemiskinan yang kian berlapis tidaklah sedikit dan terus
meningkat dari tahun ke tahun–mencapai Rp90 triliun pada tahun 2012.
Data yang dirilis BPS pada Senin lalu (2/7) menyebutkan,
jumlah penduduk miskin pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang (11,96
persen), atau berkurang sebesar 0,89 juta orang (0,53 persen) dibandingkan
kondisi Maret 2011. Jika dibandingkan dengan kondisi Maret 2009–jumlah penduduk
miskin mencapai 32,53 juta orang (14,15 persen)–artinya dalam tiga tahun terakhir,
penduduk miskin hanya berkurang sebesar 2,19 persen atau sekitar 0,73 persen
per tahun.
Keberhasilan
‘semu’
Menariknya, dalam berbagai kesempatan, pemerintah selalu
dengan bangga menyatakan keberhasilannya dalam menurunkan jumlah penduduk
miskin meskipun laju penurunan yang terjadi berjalan lamban. Dalam forum Rio+20
di Riocentro Convention Center, Rio De Janeiro, Brasil, baru-baru ini,
misalnya, Presiden SBY dengan begitu percaya diri menyatakan bahwa angka
kemiskinan Indonesia tinggal 12,5 persen (kondisi September 2011). Ini
sekaligus membantah penilaian yang diberikan oleh Fund for Peace kepada
Indonesia sebagai salah satu negara gagal.
Statistik kemiskinan yang ada memang dengan terang menunjukkan, pemerintah tak layak disebut gagal dalam upaya pengentasan kemiskinan selama ini. Tapi, apakah dengan itu pemerintah juga layak disebut berhasil? Saya kira jawabannya perlu dipikirkan matang-matang. Betapa tidak. Jika kita telaah lebih jauh statistik kemiskinan yang ada–setidaknya selama periode kedua pemerintahan SBY–penurunan jumlah penduduk miskin yang berlangsung lamban ternyata juga dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk hampir miskin yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari sini mudah diduga, sebagian besar mereka yang lepas dari status miskin selama ini sejatinya hanya berubah status menjadi hampir miskin, dengan kondisi kesejahteraan yang boleh dibilang tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika mereka masih miskin.
Statistik kemiskinan yang ada memang dengan terang menunjukkan, pemerintah tak layak disebut gagal dalam upaya pengentasan kemiskinan selama ini. Tapi, apakah dengan itu pemerintah juga layak disebut berhasil? Saya kira jawabannya perlu dipikirkan matang-matang. Betapa tidak. Jika kita telaah lebih jauh statistik kemiskinan yang ada–setidaknya selama periode kedua pemerintahan SBY–penurunan jumlah penduduk miskin yang berlangsung lamban ternyata juga dibarengi dengan pertambahan jumlah penduduk hampir miskin yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Dari sini mudah diduga, sebagian besar mereka yang lepas dari status miskin selama ini sejatinya hanya berubah status menjadi hampir miskin, dengan kondisi kesejahteraan yang boleh dibilang tidak jauh berbeda dengan kondisi ketika mereka masih miskin.
Patut diperhatikan, yang disebut penduduk hampir miskin
menurut BPS adalah individu dengan pengeluaran per kapita per bulan tidak lebih
dari 20 persen di atas garis kemiskinan (GK). Artinya, jika nominal GK yang
digunakan BPS pada Maret 2012 untuk menetapkan siapa Si Miskin sebesar
Rp248.707 rupiah per bulan, selisih pengeluaran penduduk hampir miskin terhadap
penduduk miskin tidak lebih dari Rp49.741 rupiah setiap bulannya. Tentu sulit
mengharapkan perbedaan kesejahteraan yang berarti dari Si Miskin dengan
tambahan pengeluaran kurang dari Rp49.741 dalam sebulan atau Rp1.658 rupiah
dalam sehari. Karena itu, mereka sangat rentan untuk kembali jatuh miskin jika
sewaktu-waktu terjadi gejolak ekonomi yang memukul telak daya beli mereka.
Jika penurunan jumlah penduduk miskin yang terjadi selama
ini kenyataannya hanya menambah jumlah penduduk hampir miskin, saya kira tidak
berlebihan kalau kita menyebut capaian pengurangan kemiskinan yang diraih
pemerintah selama ini hanyalah keberhasilan ‘semu’ semata.
Kemiskinan
kronik
Mudah untuk diduga, lambannya laju penurunan jumlah penduduk
miskin dikarenakan kondisi kemiskinan yang terjadi sudah kronik (chronic poverty). Ditengarai, mereka
yang belum terentaskan dari kemiskinan saat ini adalah penduduk miskin kronik,
bukan lagi penduduk miskin sementara. Berbeda dengan kemiskinan sementara (transient poverty) yang lebih merupakan
resultan dari sebab-sebab temporer—seperti krisis ekonomi, kebijakan pemerintah
yang tidak populis, dan bencana alam—kemiskinan kronik bersifat persisten,
tetap hadir meskipun krisis tidak terjadi, kebijakan pemerintah populis,
dan/atau tidak ada bencana alam.
Ciri utama penduduk miskin kronik adalah derajat
kapabilitas—tingkat pendidikan dan kesehatan—serta aksesibilitas mereka yang
rendah. Derajat kapabilitas yang rendah mengakibatkan berbagai program pengentasan
kemiskanan yang bersifat pemberdayaan (empowerement),
seperti Program Nasional Pemberdayaan Mayarakat (PNPM) Mandiri dan Kredit Usaha
Rakyat (KUR) tidak akan berpangaruh banyak dalam mendorong mereka keluar dari
jerat kemiskinan. Sementara itu, kesulitan akses menjadikan mereka seringkali
tidak terjangkau oleh berbagai program bantuan karena tinggal di daerah-daerah
terpencil (remote area). Celakanya, rendahnya derajat
kapabillitas ini juga kian diperparah dengan pesimisme terhadap kondisi serba kekurangan
yang dialami. Mereka yang terjerat kemiskinan kronik umumnya tidak yakin bahwa
nasib mereka bakal berubah. Bahkan, tidak jarang di antara mereka menganggap
bahwa kemiskinan yang dialami sudah takdir, bahkan sesuatu yang harus
disyukuri.
Dalam skema program pengentasan kemiskinan yang didesain
pemerintah, upaya untuk meningkatkan derajat kapabilitas dan aksesibiltas
penduduk miskin memang telah dilakukan. Program-program bantuan, seperti
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), beasiswa untuk penduduk miskin, Jaminan
Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Jaminan Pemeliharaan Kesehatan untuk Keluarga
Miskin (JPK-GAKIN), Program Penyediaan Air dan Sanitasi untuk Masyarakat
Pendapatan Rendah (WSLIC2), dan Jamaninan Persalinan (Jampersal) telah
duluncurkan pemerintah. Namun, ditengarai efektivitas program-program tersebut
masih perlu ditingkatkan.
Telah lama diketahui, kemiskinan di Indonesia merupakan
fenomena perdesaan, lebih khusus lagi pertanian. Data BPS menunjukkan, 63,42
persen penduduk miskin pada Maret 2012 tinggal di daerah perdesaan. Mudah untuk
diduga, sebagian besar mereka adalah buruh tani dan petani: gurem dan
penggarap. Ditengarai, meskipun belakangan ini pertumbuhan sektor
pertanian dalam arti luas—mencakup subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan,
peternakan, perikanan, dan kehutanan—cukup mengesankan, nampaknya hal ini belum
diikuti perbaikan kesajahteraan penduduk miskin yang bekerja di sektor ini
secara berarti.
Berdasarkan data BPS, sepanjang 2012, sektor pertanian
dalam arti luas memang tumbuh sebesar 3,9 persen (year on year). Namun, pada saat yang sama, nilai rill upah (daya
beli) buruh tani secara umum teros merosot—meskipun nilai nominalnya terus
naik—dan pergerakan Nilai Tukar Petani (NTP), yang merupakan proksi derajat
kesejahteraan petani, cenderung stagnan. Dari sini patut diduga, pertumbuhan
yang terjadi di sektor pertanian timpang. Dalam artian, sebagian besar ‘kue’
pertumbuhan—nilai tambah (value added)—yang
tercipta di sektor ini hanya dinikmati segelintir orang yang memiliki akses
penguasaan faktor produksi yang lebih besar. Untuk subsektor tanaman bahan
makanan, misalnya, sebagian besar ‘kue’ pertumbuhan itu nampaknya dinikmati
oleh para petani besar dan pemilik lahan, bukan petani penggarap, gurem,
apalagi buruh tani yang jumlahnya mencapai sekitar 5 juta orang.
Karena sebagian besar penduduk miskin—termasuk miskin
kronik—tinggal di perdesaan dan menggantungkan hidupnya di sektor pertanian,
upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah harus memberi perhatian
lebih pada pembangunan daerah perdesaan dan penguatan sektor pertanian.
Program-program penanggulangan kemiskinan yang difokuskan pada kedua hal ini,
seperti Program Pengembangan Prasarana Pedesaan (P2D), Pemberdayaan Masyarakat
untuk Pembangunan Desa (CERD/PMPD), Proyek Pengembangan Wilayah Berbasis
Pertanian Sulawesi (SAADP), dan Pembinaan Peningkatan Petani Nelayan Kecil
(P4K) harus terus digalakkan. Pemerintah harus bekerja lebih giat dan lebih
keras. (*)
Komentar
Posting Komentar