“When
you can measure what you are speaking about, and express it in numbers,
you know something about it, when you cannot express it in numbers,
your knowledge is of a meager and unsatisfactory kind; it may be the
beginning of knowledge, but you have scarely, in your thoughts advanced
to the stage of science.” William Thompson (Lord Kelvin).
Seorang
kompasianer (sebutan bagi mereka yang aktif menulis di kompasiana.com)
kondang, Muhammad Armand, pernah menulis seperti ini pada suatu
artikelnya: “Saya
cumalah seorang warga negara, benar-benar penasaran. Ingin bertanya:
bagaimana cara menentukan angka kemiskinan ini? Ataukah, angka 12,5
persen (BPS, 2011) angka kemiskinan di Indonesia asal comot, menyebut
sekena hati?”
Apa
yang diungkapkan Muhammad Armand di atas nampaknya mewakili apa yang
dirasakan oleh banyak orang terkait angka kemiskinan versi pemerintah
yang beredar di ruang publik selama ini: penasaran. Bagaimanakah angka
itu—yang rasa-rasanya terlalu rendah dan tidak menggambarkan realitas
kemiskinan yang sesungguhnya di masyarakat—ditentukan? Atau dalam bahasa
yang lebih ilmiah: bagaimana metodologi penghitungannya? Jawaban dari
pertanyaan ini akan diulas tuntas pada tulisan kali ini.
Mengukur kemiskinan
Kemiskinan
adalah negasi dari tujuan asasi pembangunan yang dilakukan oleh semua
negara dan bangsa di dunia: kesejahteraan. Karena itu, kemiskinan telah
menjadi musuh global yang harus diperangi oleh komunitas
internasional—termasuk kita, Indonesia. Singkat kata, kemiskinan harus
dienyahkan dari muka bumi.
Genderang
perang melawan kemiskinan secara global telah ditabuh oleh komunitas
internasional lebih dari satu dekade yang lalu. Pada September 2000,
melalui sebuah konsensus yang disebut sebagai Tujuan Pambangunan
Millenium atau Millenium Development Goals (MDGs), semua negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mufakat untuk menempatkan pemberantasan (eradication)
kemiskinan sebagai tujuan nomor satu dari tujuan pembangunan global di
abad 21. Secara spesifik, tujuan ini dirumuskan sebagai upaya mengurangi
jumlah penduduk miskin dunia saat itu hingga hanya tinggal setengahnya
di 2015.
Di
Indonesia, perang terhadap kemiskinan telah dikumandangkan secara
eksplisit sejak republik ini lahir. Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945, para founding fathers
kita secara tegas telah menyebutkan bahwa salah satu tujuan pokok dari
pembangunan nasional adalah terwujudnya kesejahteraan umum bagi seluruh
rakyat Indonesia. Dan, tujuan ini hanya akan terwujud jika tak ada lagi
penduduk negeri ini yang hidup dalam belenggu kemiskinan.
Untuk
memenangkan pertarungan melawan kemiskinan, satu hal yang harus
dilakukan adalah mendefinisikan kemiskinan tersebut secara eksplisit dan
mengukurnya. Dari pengukuran kemiskinan akan diperoleh ragam statistik
(data) kemiskinan yang dapat menjelaskan tentang berbagai hal, seperti
siapa si miskin (profile) dan seberapa banyak jumlahnya (incidence of poverty)—baik
secara absolut maupun suatu persentase tertentu dari total penduduk
suatu wilayah. Informasi seperti ini sangat penting bagi
pemerintah/institusi untuk menentukan kebijakan yang harus diambil dan
program yang harus dijalankan untuk mengeluarkan si miskin dari kubangan
kemiskinan, sekaligus untuk memonitor dan mengevaluasi keberhasilan
langkah-langkah yang telah ditempuh dalam upaya mereduksi jumlah
penduduk miskin dari waktu ke waktu.
Masalah
yang kemudian muncul adalah ternyata mendefinisikan dan mengukur
kemiskinan tidaklah mudah. Kemiskinan ternyata tidak melalu soal dimensi
ekonomi (pendapatan yang rendah), tetapi multidimensi dan kompleks.
Sebagai contoh, jika
setiap orang diminta melengkapi kalimat berikut, “saya miskin
karena……”Akan ada puluhan, bahkan mungkin ratusan kata yang bisa
digunakan untuk melengkapi kalimat tersebut. Dan pastinya, tidak semua bisa diukur secara kuantitatif—dengan angka.
Secara
umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau
sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk
mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Meskipun
singkat, defenisi ini menunjukkan bahwa makna kemiskinan sangat luas dan
multidimensi, serta tidak mudah untuk diukur. Contohnya, apa yang
dimaksud dengan kehidupan yang bermartabat itu? Setiap orang tentu akan
menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang
perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapat
dinyatakan secara kuantitatif, seperti rasa aman dari perlakuan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan
sosial-politik.
Definisi kemiskinan yang lebih sederhana dikemukan oleh Bank Dunia (2000), yakni “Poverty is pronounced deprivation in well-being.”
Jika diterjemahkan secara bebas, kemiskinan didefinisikan oleh Bank
Dunia sebagai kondisi serba kekurangan yang mengakibatkan seseorang tak
mampu mencapai derajat hidup layak (well-being).
Meskipun
defenisi ini lebih sederhana, tetap saja menyisikan kerumitan dalam
pengukuran kemiskinan. Seperti halnya kemiskinan, hidup layak atau
sejahtera (well-being) adalah repsentasi dari banyak hal:
seberapa besar penghasilan yang diterima seseorang dalam sebulan, apa
dan seberapa banyak yang dimakan dalam sehari, pakaian apa yang
dikenakan sehari-hari, di mana seseorang bertempat tinggal, apakah
bersekolah—jika termasuk penduduk usia sekolah, apakah pergi ke dokter
kala sakit, dan masih banyak lagi. Amartya Sen (1987) menyebutkan, “Well-being
comes from a capability to function in society. Thus, poverty arises
when people lack key capabilities, and so have inadequate income or
education, or poor health, or insecurity, or low self-confidence, or a
sense of powerlessness, or the absence of rights such as freedom of
speech.”
Pertanyaannya kemudian, bagaimana mengukur itu semua? Bagaimana menentukan sebuah indikator hidup layak yang
mudah untuk diukur di satu sisi, serta cukup memuaskan dalam
menjelaskan kompleksitas kondisi hidup layak di sisi yang lain? Para
ahli pengukuran kemiskinan (poverty measurement) telah lama berdiskusi sekaligus berdebat panjang terkait hal ini. Dan pilihan mereka akhirnya jatuh pada pendapatan (income) atau pengeluaran (consumption/expenditure) sebagai indikator hidup layak.
Pilihan
menggunakan pendapatan atau pengeluaran sebagai indikator hidup layak
tentu saja telah mereduksi dimensi kemiskinan yang maha luas hanya pada
dimensi ekonomi atau moneter (uang) saja. Tetapi, meskipun pendapatan
atau pengeluaran kurang memuaskan (poor) dalam menjelaskan semua dimensi dari kemiskinan—yang hendak diukur—kedua indikator ini cukup baik (useful)
sebagai indikator hidup layak. Alasannya sederhana, rumah tangga atau
individu yang memiliki pendapatan atau pengeluaran yang tinggi bakal
menikmati lebih banyak barang dan jasa—dengan variasi yang juga lebih
beragam—ketimbang rumah tangga dengan pendapatan atau pengeluaran yang
lebih rendah, yang memiliki keterbatasan dalam mengakses barang dan
jasa. Dan yang lebih penting lagi, pendapatan atau pengeluaran lebih
mudah untuk diukur dan dikumpulkan datanya.
Dalam prakteknya, penggunaan pendapatan sebagai indikator hidup layak dijumpai di negara-negara maju (rich countries).
Ini disebabkan di negara maju pendapatan lebih mudah diukur ketimbang
pengeluaran karena sebagian besar pendapatan rumah tangga atau penduduk
berasal dari upah dan gaji. Sebaliknya, penggunaan pengeluaran sebagai
indikator hidup layak dijumpai di negara-negara berkembang (developed countries)—termasuk Indonesia—dan negara-negara miskin (less-developed countries).
Ini disebabkan sebagian besar pendapatan rumah tangga atau penduduk di
negara-negara miskin dan berkembang berasal dari sektor informal dan self-employment sehingga relatif lebih sulit diukur dibanding pengeluaran.
Setelah
indikator hidup layak ditetapkan (pendapatan atau pengeluaran), tahap
selanjutnya adalah menentukan sebuah standar minimum yang harus dipenuhi
oleh setiap rumah tangga atau individu agar dapat hidup layak. Standar
ini berupa keranjang komiditi (basket commodities) yang terdiri dari barang dan jasa kebutuhan dasar sehari-hari (basic needs)
yang dinyatakan dalam suatu nilai nominal tertentu. Dalam prakteknya,
standar minimum ini ditentukan dengan menggunakan suatu metode
statistik. Selanjutnya rumah tangga atau penduduk yang tidak mampu
memenuhi standar minimum tersebut disebut “miskin”.
Standar minimum inilah sebetulnya yang disebut dengan garis kemiskinan (poverty line) itu. Suatu ambang batas (threshold) yang memisahkan rumah tangga atau penduduk miskin (poor) dan nirmiskin (non-poor).
Terus
bagaimana selama ini garis kemiskinan itu dihitung? Apakah nilainya
juga berubah seiiring naiknya harga-harga barang dan jasa (inflasi)? Apa
bedanya garis kemiskinan yang digunakan pemerintah (BPS) selama ini
dengan yang digunakan oleh ADB dan Bank Dunia yang nilainya dinyatakan
dalam dollar PPP (Purchasing Power Paritiy)? Terus apa pula yang dimaksud dengan dollar PPP itu, apakah nilainya sama dengan dollar currency
(nilai tukar rupiah terhadap dollar AS)? Terus, garis kemiskinan mana
yang lebih representatif untuk mengukur kemiskinan di Indonesia, apakah
versi pemerintah atau versi ADB dan Bank Dunia? Semua pertanyaan ini
akan diulas tuntas pada tulisan berikutnya, “Jumlah Si Miskin (3): Garis Kemiskinan, Bagaimana Menghitungnya?”(*)
Referensi:
Haughton dan Khander. 2009. Handbook Poverty +Inequality. World Bank. Washingtong, DC.
Haughton dan Khander. 2009. Handbook Poverty +Inequality. World Bank. Washingtong, DC.
World Bank. 2012. Poverty and Inequalitiy in Indonesia. Presentation.
United Nations (UN). 2010. Rethinking Poverty: Report on The World Social Situation 2010. Economics and Social Affairs (UN).
Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan. Jakarta: BPS-RI.
Komentar
Posting Komentar