Dalam mengukur kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pengeluaran sebagai indikator hidup layak (well-being). Garis kemiskinan yang dipakai adalah garis kemiskinan absolut yang didasarkan pada konsep pemenuhan kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan demikian, penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut miskin.
Dalam prakteknya, garis kemiskinan yang dipakai BPS merupakan hasil penjumlahan garis kemiskinan makanan (GKM) dan garis kemiskinan non-makanan (GNKM).
GKM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan makanan untuk memenuhi asupan energi sebesar 2.100 kilo kalori per kapita per hari. Jumlah kalori sebesar ini disumbang oleh 52 jenis komoditi. Padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur, dan susu merupakan komoditi dengan kontribusi kalori paling besar.
Sementara itu, GKNM merupakan nilai pengeluaran kebutuhan dasar non-makanan yang mencakup perumahan, sandang, pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makananan terdiri dari 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di perdesaan. Pemilihan jenis komoditi non-makanan yang diikutkan dalam penghitungan GKNM mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola konsumsi penduduk.
Garis kemiskinan, baik makanan maupun non-makanan, juga dihitung secara terpisah untuk daerah perkotaan dan perdesaan. Ini harus dilakukan karena perbedaan pola konsumsi antara penduduk perkotaan dan perdesaan. Selain itu, harga yang dibayarkan oleh penduduk perkotaan untuk memenuhi kebutuhan dasar juga berbeda dengan penduduk perdesaan.
Sebelum garis kemiskinan dihitung, terlebih dahulu ditentukan kelompok populasi rujukan (reference population), yaitu 20 persen penduduk dengan nilai pengeluaran di atas garis kemiskinan sementara (GKS). Kelompok ini disebut penduduk kelas marjinal. Selanjutnya, berdasarkan pengeluaran penduduk kelompok marjinal ini, GKM dan GKNM dihitung. Dengan demikian, garis kemiskinan pada dasarnya merupakan nilai pengeluaran penduduk kelas marjinal untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan.
GKS dihitung berdasarkan garis kemiskinan periode sebelumnya yang digerakkan dengan inflasi umum. Itulah sebabnya, dari tahun ke tahun nilai nominal garis kemiskinan terus meningkat seiiring kenaikan harga-harga. Ini sekaligus membantah anggapan sebagian orang, bahwa garis kemiskinan yang digunakan BPS selama ini tidak mengikuti perkembangan harga-harga (inflasi).
Penghitungan garis kemiskinan didasarkan pada basis data pengeluaran 68.500 sampel rumah tangga di seluruh Indonesia yang diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas adalah survei rutin yang diselenggarakan BPS untuk memotret pola konsumsi rumah tangga di seluruh Indonesia dengan menggunakan modul konsumsi yang mencakup lebih dari 300 item pengeluaran. Dari survei ini diperoleh secara rinci alokasi pengeluaran rumah tangga untuk berbagai kebutuhan makanan dan non-makanan setiap bulannya.
Sejak tahun 2011, Susenas (modul kosumsi) diselanggarakan oleh BPS setiap tiga bulan dalam satu tahun (triwulanan). Potret kemiskinan yang disajikan adalah kondisi bulan Maret dan September. Karena dihitung berdasarkan data survei, perlu dipahami bahwa angka kemiskinan yang dihasilkan BPS pada dasarnya hanyalah estimasi. (*)
Komentar
Posting Komentar