Laju penurunan jumlah penduduk miskin terus melambat dalam
beberapa tahun terakhir. Selama pemerintahan Jokowi-JK, capaian pengentasan
kemiskinan boleh dibilang kurang menggembirakan.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa
sepanjang September 2014-September 2016 jumlah penduduk miskin bertambah
sekitar 30 ribu jiwa meski pada periode yang sama persentase penduduk miskin
terhadap total populasi (kejadian kemiskinan per seratus penduduk) mengalami
penurunan sebesar 0,26 persen. Penurunan ini disebabkan oleh pertambahan jumlah
penduduk sepanjang September 2014-September 2016.
Meskipun pertambahan jumlah penduduk miskin sebanyak 30 ribu
jiwa tidak terlalu signifikan, ada indikasi bahwa kehidupan masyarakat miskin,
utamanya di daerah pedesaan, makin memburuk. Hal ini tercermin dari peningkatan
jumlah penduduk sangat miskin dari 8,83 juta jiwa pada Maret 2014 menjadi 10,79
juta jiwa pada Maret 2016.
Penyumbang utama kenaikan tersebut adalah wilayah pedesaan.
Sepanjang Maret 2014-Maret 2016, jumlah penduduk sangat miskin di pedesaan
meningkat dari 5,83 juta jiwa menjadi 7,47 juta jiwa.
Sejalan dengan hal ini, tingkat kedalaman dan keparahan
kemiskinan di daerah pedesaan cenderung memburuk sepanjang Maret 2014-September
2016. Diketahui indeks kedalaman kemiskinan di pedesaan naik dari 2,26 pada
Maret 2014 menjadi 2,32 pada September 2016. Sementara indeks keparahahan
kemiskinan mengalami kenaikan dari 0,57 pada Maret 2014 menjadi 0,59 pada
September 2016.
Kenaikan yang kelihatannya tak seberapa ini sejatinya
memberi konfirmasi bahwa kondisi kesejahteraan lapisan masyarakat bawah di
daerah pedesaan semakin memburuk.
Karena itu, visi pemerintah untuk "Membangun Indonesia
dari Pinggiran dalam Kerangka NKRI" nampaknya belum terwujud.
Pengalokasian Dana Desa untuk memperkuat pembangunan wilayah pedesaan (Rp20
triliun pada 2015 dan Rp47triliun pada 2016) juga belum efektif dalam
mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Begitupula dengan
besarnya anggaran belanja negara di sektor pertanian yang mencapai Rp52
triliun---untuk subsidi pupuk, pencetakan sawah baru, dan pembangunan jaringan
irigasi---sepertinya belum memperlihatkan dampak yang signifikan terhadap
peningkatan kesejahteraan petani di daerah pedesaan.
Salah satu faktor yang memengaruhi capaian pengentasan
kemiskinan dalam dua tahun terakhir adalah kinerja pertumbuhan ekonomi nasional
yang cenderung melambat. Pada 2015, pertumbuhan ekonomi nasional hanya sebesar
4,88 persen, lebih rendah dibanding pertumbuhan ekonomi pada 2014 yang mencapai
5,01 persen. Meski kemudian sedikit membaik, pertumbuhan ekonomi pada
2016 hanya sebesar 5,02 persen.
Faktanya, perlambatan pertumbuhan juga terjadi di sektor
pertanian yang selama ini menjadi pusat kemiskinan. Data BPS menunjukkan,
sepanjang 2015 dan 2016 sektor pertanian hanya tumbuh masing-masing sebesar
3,77 persen dan 3,25 persen.
Pertumbuhan sektor pertanian sangat penting dalam mendukung
keberhasilan upaya pengentasan kemiskinan karena lebih dari 50 persen rumah
tangga miskin mengandalkan sektor pertanian sebagai lapangan pekerjaan utama.
Bahkan, di daerah pedesaan yang merupakan kantong kemiskinan (63 persen
penduduk miskin tinggal di pedesaan), hampir 70 persen kepala rumah tangga
miskin bekerja di sektor pertanian.
Pertumbuhan di bawah 4 persen per tahun tentu jauh dari
memadai untuk mendorong peningkatan pendapatan di sektor pertanian. Pasalnya,
beban sektor pertanian cukup berat. Hingga saat ini sebagian besar tenaga kerja
(32 persen dari total penduduk bekerja pada Februari 2017) masih mengandalkan
sektor pertanian.
Jika tren perlambatan penurunan kemiskinan terus berlanjut,
target pemerintah untuk menekan angka kemiskinan hingga di bawah 10 persen
sepertinya bakal sulit tercapai.
Faktanya, dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi yang hanya
sekitar 5 persen per tahun sepanjang 2014-2016 ditambah kinerja sektor
pertanian yang jauh dari memuaskan, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan
kelompok penduduk miskin dan sangat miskin sepanjang Maret 2014-Maret 2016
hanya tumbuh masing-masing sebesar 16,50 persen dan 16,72 persen. Sementara
pada saat yang sama garis kemiskinan, yang merupakan jumlah rupiah minimum yang
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar agar individu tidak terkategori
miskin, justru meningkat sebesar 19,57 persen.
Itu artinya, pertumbuhan ekonomi selama dua tahun terakhir
kurang memadai untuk menurunkan jumlah penduduk miskin secara signifikan.
Karena itu, pemerintah harus memacu pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan
pemerataan. Pertumbuhan sektor pertanian dan wilayah pedesaan yang selama ini
menjadi kantong kemiskinan harus menjadi prioritas. (*k)
Sumber data: www.bps.go.id
Komentar
Posting Komentar