Setelah membaca postingan seorang kawan perihal garis kemiskinan
BPS yang kembali diributkan oleh para wakil rakyat yang tengah kehilangan
kepercayaan karena berbagai tingkah mereka yang seringkali melukai hati rakyat
itu─
mulai dari kesenangan berpelancong ke luar negeri dengan dalih studi
banding, budaya kleptomania merampok uang negara, hingga yang terbaru kasus
mafia anggaran─gairah saya terhadap persoalan kemiskinan kembali menyeruak,
setelah sempat padam karena terlalu sibuk dengan ramalan produksi padi dan
palawija.
Saya akan menanggapi isi tautan tersebut sebagai seorang statistisi
didikan BPS, bukan sebagai politisi yang seringkali subjektif sesuai
kepentingan yang diusung. Dalam ranah politik, kebenaran seringkali kabur dan
tidak jarang mengalami deviasi. Sesuatu yang sejatinya benar bisa menjadi salah
jika sebagian besar dari anggota dewan yang katanya terhormat itu mengatakannya
sebagai suatu kesalahan.
Mengukur Kemiskinan Tidaklah Semudah Menggunakan Penggaris
Kata kemiskinan adalah sesuatu yang sangat kaulitatif. Karenanya, sangat
sulit untuk mengkurnya secara kuantitatif. Sebagai contoh, jika setiap orang
diminta melengkapi kalimat berikut, "saya miskin karena......". Akan
ada ratusan, bahkan ribuan kata yang bisa digunakan untuk melengkapi kalimat
ini, tergantung orangnya. Dan pastinya, tidak semua bisa dikuantitatifkan.
Singkat kata, mengukur kemiskinan tidaklah semudah mengukur panjang suatu objek
riil dengan sebuah penggaris. Untuk menjelaskan hal ini, saya sadurkan buat
Anda tulisan dari Dr. Kecuk Suhariyanto di Koran Kompas (12 Januari
2011), dalam artikel yang berjudul “Jumlah
Si Miskin” beliau menulis
sebagai berikut:
Mencoba menghitung jumlah penduduk miskin bukan pekerjaan mudah.
Setakat ini belum satu pun metodologi yang sempurna memotret
kemiskinan. Secara umum, kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi saat
seseorang atau sekelompok orang tak mampu memenuhi hak-hak dasarnya
untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Hanya terdiri dari satu kalimat, tetapi maknanya sangat luas sehingga
bisa mengundang perdebatan panjang. Contohnya, apa yang dimaksud
dengan kehidupan bermartabat. Apa pula yang termasuk hak-hak dasar?
Apalagi, tidak semua hak dasar dapat dikuantifikasi, seperti rasa aman
dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Dari definisi itu terlihat bahwa kemiskinan merupakan masalah
multidimensi. Sulit mengukurnya sehingga perlu kesepakatan pendekatan
pengukuran yang dipakai.
Salah satu konsep penghitungan kemiskinan yang diterapkan di banyak
negara, termasuk Indonesia, adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan
dasar. Dengan konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas
mengalami penyempitan makna karena kemiskinan hanya dipandang sebagai
ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
dan bukan makanan.
Dalam terapannya, dihitunglah garis kemiskinan absolut. Penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran/pendapatan per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan disebut penduduk miskin. Penghitungan penduduk
miskin ini didasarkan pada data sampel, bukan data sensus, sehingga
hasilnya sebetulnya hanyalah estimasi.
Data yang dihasilkan biasa disebut data kemiskinan makro. Di
Indonesia, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi
Nasional. Pencacahannya dilakukan setiap Maret dengan jumlah sampel
68.000 rumah tangga. BPS menyajikan data kemiskinan makro ini sejak
tahun 1984 sehingga perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin
bisa diikuti dari waktu ke waktu .
Mengapa Garis Kemiskinan yang Digunakan Di Setiap Negara Berbeda?
Dalam penghitungan kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs),
garis kemiskinan (GK) merupakan instrument yang sangat penting. GK yang tidak
tepat akan menghasilkan pengukuran kemiskinan yang menyesatkan. Pada dasarnya,
GK merupakan jumlah rupiah yang harus dikeluarkan oleh seseorang untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar ini mencakup kebutuhan makanan yang
setara dengan 2.100 kkal per hari dan kebutuhan non-makanan (sandang,
perumahan, pendidikan, dan kesehatan).
Dalam prakteknya, GK merupakan jumlah pengeluaran reference population─20 persen populasi yang
pengeluarnnya di atas GK sementara─atas sejumlah komoditi makanan dan non-makanan yang biasa disebut basket commodity. Komposisi
komoditas yang menyusun basket ini beserta harganya sangat
memengaruhi pergerakan nilai GK.
Komposisi komoditas makanan dan non-makanan penyusun GK berbeda-beda pada tiap
negara, sesuai dengan pola konsumsi penduduknya. Itulah sebabnya kenapa nominal
GK yang digunakan di setiap negara juga berbeda. Karena itu, GK yang digunakan
di Vietnam belum tentu representatif jika digunakan di Indonesia─sekedar infromasi kawan,
ketika menghitung angka kemiskinan orang Vietnam sebenarnya datang belajar ke
BPS, karena untuk urusan yang satu ini kita dinobatkan sebagai yang terbaik di
Asia-Pasifik.
GK Nasional (BPS) Vs GK Bank Dunia
Salah satu penyakit kronik bangsa ini adalah nasionalisme yang melempem.
Mungkin, itulah sebabnya kenapa Indonesia hingga kini belum mempunyai produk
atau brand nasional yang bisa eksis dan
kompetitif di pasar internasional (go international), semisal Jepang
yang begitu digdaya dalam industri otomotif dunia lewat sederet merek seperti
Toyota, Honda, dan Yamaha atau Korea Selatan yang berjaya dengan Samsung dan
Hyundai-nya. Di pasar internasional, kita hanya dikenal sebagai negera pengekspor
bahan mentah (raw material) dan TKI.
Menurut Rhenald Kasali, sang pakar manajemen itu, suatu produk/brand akan eksis di pasar internasional─luar negeri─ jika di dalam negeri
produk/brand tersebut juga
eksis─minimal dihargai. Itulah yang terjadi pada Jepang dan Korea,
semangat nasionalisme yang diwujudkan melalui kecintaan dan kebanggaan mereka
terhadap produk dalam negeri begitu kuat. Konon kabarnya, walaupun
bermukim di Amerika, dalam urusan membeli mobil, orang Korea akan berusaha
mati-matian untuk mendapatkan mobil dengan merek Hyundai meskipun dengan harga
yang relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan mobil-mobil produksi
Amerika. Sesuatu yang amat kontras jika dibandingkan dengan kebiasaan orang
kita yang begitu doyan terhadap segala sesuatu yang berbau impor. Dalam mindset mereka, produk impor/buatan luar
negeri selalu lebih baik.
Dalam urusan memilih angka kemiskinan yang terjadi juga demikian. Sebagian
Ekonom dan Politisi negeri ini lebih memilih untuk menggunakan angka kemiskinan
yang dikeluarkan oleh Bank Dunia ketimbang angka BPS. Dalam pandangan mereka,
angka kemiskinan Bank Dunia jauh lebih baik dan akurat jika dibandingkan
dengan angka BPS. Pandangan yang sudah tentu keliru, karena pada dasarnya
metode yang digunakan oleh kedua institusi ini sama saja. Yang membedakan
antara keduanya hanyalah garis atau batas kemiskinan yang digunakan. Bahkan,
data yang digunakan oleh Bank Dunia dalam menghitung angka kemiskinan
sebenarnya adalah data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang tidak
lain dan tidak bukan adalah data BPS.
Selain itu, angka kemiskinan BPS dan angka kemiskinan Bank Dunia bukanlah dua
hal yang harus dipertentangkan. Karena pada dasarnya, keduanya saling
mendukung dan digunakan untuk tujuan yang sedikit berbeda.
Terkait evaluasi terhadap pencapaian target MDGs, yang salah satunya adalah
mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal setengahnya pada tahun 2015,
Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan yang comparable (dapat diperbandingkan) antar negara.
Dalam hal ini, angka kemiskinan yang dihitung berdasarkan GK nasional di setiap
negara tentu tidak dapat digunakan karena basket
commodity yang digunakan
berbeda pada tiap negara. Selain itu, jika GK nasional setiap negara dikonversi
ke dalam dollar PPP, maka nominalnya akan berbeda-beda. Pada kondisi seperti
ini, syarat perbandingan aple
to aple ketika
memperbandingkan angka kemiskinan antar negara tidak terpenuhi. Karena itu,
sebagai solusinya, Bank Dunia kemudian menghitung angka kemiskinan berdasarkan
GK yang distandardisasi dalam ukuran dollar PPP (paritas daya beli, bukan
dollar kurs seperti yang salah dipahami oleh sebagian ekonom dan politisi).
Dalam prakteknya, ada dua ukuran yang digunakan yakni 1 dollar PPP dan 2 dollar
PPP. GK Nasional (BPS) sendiri setara dengan 1.5 dollar PPP. Jika kemudian
timbul pertanyaan, GK mana yang paling representatif untuk Indonesia ? Jawabannya adalah punya kita
(BPS). (*)
Komentar
Posting Komentar