“Data (yang benar)
mencerdaskan bangsa.” (Motto: Badan Pusat Statistik)
Pada Kamis (25/08/2011),
KOMPAS.com memberitakan laporan yang dirilis oleh Asian Development Bank (ADB)
tentang perkembangan kondisi kemiskinan Indonesia saat ini yang lebih buruk
dibanding lima tahun lalu. Selengkapnya, isi berita yang dimaksud dapat Anda
baca pada tautan berikut ADB:
Penduduk Miskin Indonesia Bertambah. Terlepas berita ini bersumber dari
kantor berita AFP, menurut saya ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi.
Defenisi dan metode
pengukuran kemiskinan
Sebelum membahas
kejanggalan yang saya maksudkan, sangat penting bagi kita memahami terlebih
dahulu defenisi kemiskinan dan bagaimana angka-angka kemiskinan itu diperoleh.
Secara umum, kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan
multidimensi, serta tidak mudah untuk mengukurnya. Contohnya, apa yang dimaksud
dengan kehidupan yang bermartabat? Setiap orang tentu akan
menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang
perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapa dikuantifikasi,
seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk
berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik.
Karenanya, hingga saat
ini, tak ada satupun metode yang sempurna dalam memotret kemiskinan. Selama
ini, pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan metode statistik−metode
kuantitatif−yang banyak memiliki keterbatasan, karena tidak semua variable yang
ingin diukur dapat dikuantifikasi.
Salah satu konsep
pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk
Indonesia,adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan
konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna
karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Di Indonesia, pengukuran
kemiskinan dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap tahun di bulan
Maret. Dengan demikian, angka kemiskinan yang dimumkan oleh BPS sebenarnya
adalah kondisi Maret, setelah Maret kondisi kemiskinan pasti berubah karena
kemiskinan pada dasarnya bersifat dinamis.
Dalam prakteknya,
pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar menggunakan garis
kemiskinan (GK) atau batas kemiskinan absolut sebagai instrument untuk
menentukan miskin tidaknya seseorang. GK dapat dipandang sebagai jumlah rupiah
minimum yang diperlukan oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan
(setara dengan 2.100 kkal per hari) dan non-makanan (sandang, pangan,
perumahan, dan kesehatan).
Untuk menghitung GK dan
jumlah penduduk miskin, BPS melakukan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS).
Survei ini bertujuan untuk mendapatkan data pengeluaran konsumsi
rumah tangga dengan mencacah sekitar 68 ribu sampel rumah tangga yang
tersebar di seluruh Indonesia dari Aceh sampai Papua. Karena didasarkan pada
data survei, angka kemiskinan yang dihasilkan adalah estimasi atau perkiraan.
Bank Dunia juga
menggunakan data ini untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Konsep
yang digunakan oleh Bank Dunia pada dasarnya sama dengan yang digunakan
oleh BPS, yang membedakan keduanya hanyalah GK yang digunakan. GK yang
digunakan oleh Bank Dunia dalam dollar PPP (purchasing power parity/paritas daya
beli). Dalam prakteknya, ada dua ukuran yang digunakan, yakni 1,25 dollar dan 2
dollar. Dollar PPP atau biasa disebut dollar internasional tidak sama dengan
dollarcurrency (dollar
AS). Jika dirupiahkan, nilai dollar PPP selalu lebih rendah dibanding dollar
AS. Penjelasan mengenai dollar PPP dapat Anda baca pada tautan berikut
Penggunaan GK dalam
dollar PPP oleh Bank Dunia erat kaitannya dengan evaluasi pencapaian
target Millenium
Development Goals (MDGs), yang salah satu sasarannya adalah
mengurangi angka kemiskinan dunia hingga tinggal setengahnya pada tahun 2015.
Karena Bank Dunia membutuhkan data kemiskinan yang comparable (dapat
diperbandingkan) antar negara, maka digunakanlah GK dalam dollar internasional
atau dollar PPP.
Kesamaan konsep dan
sumber data yang digunakan BPS dan Bank Dunia dalam pengukuran kemiskinan
mengakibatkan pergerakan angka kemiskinan hasil hitung-hitungan Bank Dunia
selalu sejalan dengan hasil hitungan BPS−walaupun jumlah atau persentase
penduduk miskinnya berbeda. Jika hasil hitungan BPS menunjukkan bahwa pada
tahun 2011 jumlah penduduk miskin turun, maka hasil hitungan Bank Dunia
juga akan menunjukkan hal yang sama.
Kekeliruan KOMPAS.com
Sebagaimana telah saya
nyatakan sebelumnya, ada dua hal yang janggal dan perlu dikoreksi dari
pemberitaan KOMPAS.Com yang bertajuk “ADB:
Penduduk Miskin Indonesia Bertambah”. Kejanggalan pertama terdapat
pada redaksi berikut
”Untuk
diketahui, standar kemiskinan yang digunakan ADB adalah penghasilan di
bawah 1,25 dollar AS per hari (sekitar Rp 10.625).”
Sebelumnya, telah saya
sebutkan bahwa GK yang digunakan Bank Dunia adalah dalam dollar PPP bukan
dollar currency (dollar
AS). Kalimat di atas jelas keliru, karena GK yang digunakan oleh ADB seharusnya
adalah 1,25 dollar PPP bukan 1,25 dollar AS. Jika Anda membaca publikasi ADB
terbaru yang berjudul “
KEY INDICATORS FOR ASIA AND THE PASIFIC 2011”, pada halaman
147 Anda akan menemukan kalau GK yang digunakan oleh ADB dalam dollar PPP bukan
dollar AS. Dan memang seperti itulah seharusnya, karena GK internasional
ditujukan untuk komparasi antar negara. Jika menggunakan dollar AS, syarat
perbandingan aple to
aple tidak terpenuhi karena daya beli (purchasing power) dollar
AS tidak sama pada setiap negera.
Sebagai ilustrasi, untuk
membandingkan kinerja perekonomian antar negara, Bank Dunia dan lembaga-lembaga
internasional lainnya, tremasuk ADB, selalu menggunakan Gorss Domestic Product (GDP)
dalam dollar PPP dan GDP dalam dollar AS. Menurut data Bank Dunia, pada tahun
2010, GDP PPP (current
price international $) Indonesia mencapai 1.029,79 juta
dollar PPP, dan jika menggunakan dollar AS (current price US$) GDP Indonesia
mencapai 706,56 juta dollar AS. Sementara itu, berdasarkan data BPS, GDP
Indonesia atas dasar harga berlaku (current
price) pada tahun 2010 sebesar Rp 6.422,9 triliun. Jika dicermati,
di sini nampak jelas bahwa dollar PPP memang berbeda dengan dollar AS.
Berdasarkan angka-angka
GDP Indonesia dalam dollar PPP dan dollar AS versi Bank Dunia, serta versi
BPS (dalam rupiah), jika dilakukan konversi ke dalam rupiah, pada tahun 2010, 1
dollar PPP setara dengan sekitar Rp 6.255, sedangkan 1 dollar AS setara dengan
sekitar Rp 9.075 (kurs dollar saat itu). Di sini terlihat jelas jika
dirupiahkan, nilai 1 dollar PPP jauh lebih rendah dari 1 dollar AS.
Dengan demikian, jika
dirupiahkan, garis kemiskinan ADB sebesar 1,25 dollar PPP bukan sekitar Rp
10.625, karena nominal ini diperoleh melalui hasil perkalian 1,25 dollar
dengan kurs rupiah terhadap dollar saat ini. Dan menurut saya, hal ini
adalah murni kekeliruan KOMPAS.Com dalam memberitakan laporan ADB (AFP). Saya
yakin, baik ADB maupun AFP sama sekali tidak menyebutkan bahwa GK yang
digunakan adalah dalam dollar AS.
Konversi GK yang keliru
ini, ternyata dikutip oleh seorang kompasianer dalam tulisannya yang berjudul “Puluhan Triliun Rupiah Jelang Lebaran, Jurang Pun Makin
Lebar “. Bahkan, dalam tulisan tersebut, penulis telah
maju selangkan lebih jauh dengan menyatakan bahwa GK yang digunakan ADB sebesar
Rp 318.750 per bulan. Angka ini diperoleh setelah mengalikan Rp 10.625 dengan
30, karena penulis berasumsi jumlah rata-rata hari dalam sebulan adalah 30
hari.
Orang yang tidak paham
seluk beluk penghitungan angka kemiskinan tidak akan melihat hal ini sebagai
kekeliruan yang vatal, bahkan mungkin akan mengamini isi tulisan tersebut. Dan
inilah yang terjadi pada admin Kompasiana ketika menjadikan tulisan tersebut
sebagai headline beberapa
waktu yang lalu. Tetapi, bagi mereka yang paham seluk beluk penghitungan angka
kemiskinan tentu tahu bahwa kekeliruan seperti ini sangat vatal.
Sepintas, perbedaan
antara Rp 233.740 (GK BPS) dengan Rp 318.750 memang tidak
terlalu jauh. Tetapi implikasinya terhadap angka kemiskinan yang dihasilkan
akan sangat berbeda. Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010 jumlah penduduk miskin
dan hampir miskin Indonesia, yakni mereka yang memiliki pengeluaran per kapita
per bulan di bawah Rp 280.488, mencapai 57,14 juta orang atau
sekitar 24 persen dari total populasi Indonesia. Dengan melihat angka ini,
proporsi penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Rp 318.750
tentu akan lebih besar lagi−kemungkinan di atas 30 persen dari total
populasi−padahal, pada tahun 2009 saja, berdasarkan data Bank Dunia, jika
menggunakan GK sebesar 1,25 dollar PPP, proporsi penduduk miskin Indonesia
hanya sebesar 18,7 persen. Ini artinya, GK sebesar Rp 318.750 jauh dari setara
dengan 1,25 dollar PPP.
Kejanggalan kedua
terdapat pada redaksi berikut
“Jumlah penduduk miskin
di Indonesia… bertambah dibanding lima tahun lalu. Ini mungkin disebabkan
pesatnya pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan meningkatkan Gross
Domestic Product (GDP) dan atau disebabkan semakin luasnya kesenjangan sosial,”
kata studi yang dilakukan ADB itu.
Saya ragu kalau kutipan
di atas meruapakn hasil studi yang dilakukan ADB. Karena, jika demikian, hasil
studi ADB akan sangat bertentangan dengan data kemiskinan yang dimiliki
oleh BPS dan Bank Dunia. Berdasarkan data kedua institusi ini, selama lima
tahun terkahir perkembangan tingkat kemiskinan di Indonesia justru sebaliknya,
yakni secara umum menunjukkan tren yang menurun. Jika Anda tidak percaya,
silahkan kunjungi tautun berikut
Hasil studi ADB tidak
akan mungkin berseberangan dengan data-data kemiskinan BPS dan Bank Dunia.
Karena untuk menghitung angka kemiskinan makro yang dapat dipercaya
kevalidannya, ADB memerlukan basis data pengeluaran konsumsi rumah tangga. Dan
untuk Indonesia, satu-satunya basis data konsumsi rumah tangga yang ada adalah
data SUSENAS yang dihasilkan oleh BPS, yang juga digunakan oleh Bank Dunia
ketika menghitung angka kemiskinan di Indonesia.
Indikator kemiskinan
makro yang secara internasional umum digunakan adalah Foster-Greer-Thorbecke
(FGT) index. FGT index memiliki 3 ukuran kemiskinan, yakni persentase penduduk
miskin (P0), tingkat kedalaman kemiskinan (P1) yang
menggambarkan rata-rata selisih pengeluaran penduduk miskin terhadap GK, dan
tingkat keparahan kemiskinan (P2) yang menggambarkan ketimpangan distribusi
pendapatan penduduk miskin. Kemungkinan yang diamaksudkan oleh ADB dalam
laporannya adalah perkembangan tingkat kedalaman dan atau tingkat keparahan
kemiskinan saat ini yang semakin memburuk dibanding lima tahun yang lalu, bukan
persentase atau jumlah penduduk miskin yang bertambah.
Kekeliruan yang terjadi
pada pemberitaan di KOMPAS.com menunjukkan bahwa kehati-hatian dan kecermatan
ketika menggunakan dan melaporkan angka-angka statistik adalah soal yang amat
penting. Karena, interpretasi terhadap angka-angka statistik yang keliru
akan menghasilkan pemahaman yang bias dan menyesatkan.
Interpretasi terhadap
angka-angka statistik yang keliru memang sering terjadi pada kalangan elite
negeri ini. Contohnya, para tokoh lintas agama yang menuduh pemerintah
berbohong kepada publik soal data kemiskinan. Oleh mereka, pemerintah
dianggap berbohong karena data jumlah penduduk miskinpada tahun 2010 yang
mencapai 31,02 juta orang tidak konsisten dengan data jumlah penduduk
penerima beras miskin (raskin) yang mencapai 70 juta orang.
Tuduhan di atas
sebenarnya muncul karena ketidakpahaman mereka ketika menggunakan
data-data BPS, sehingga timbul kesan bahwa seolah-olah terdapat dua angka
kemiskinan yang berbeda. Padahal sebenarnya tidaklah demikian, data jumlah
penduduk penerima raskin tidak hanya mencakup penduduk miskin, tetapi juga
penduduk hampir miskin. Berdasarkan hasil pendataan BPS pada survei Pendataan
Program perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008, jumlah rumah tangga sasaran
(RTS) yang layak menerima raskin mencapai 17,5 juta rumah tangga. RTS mencakup
rumah tangga miskin dan hampir miskin. Sehingga, dengan asumsi kasar bahwa
setiap rumah tangga beranggotakan 4 orang, maka ada sekitar 70 juta orang yang
akan menerima raskin.
Anda tentu sepakat dengan
saya, kalau pemfitnah tidak jauh berbeda dengan pembohong, keduanya adalah
setali tiga uang.
Sumber tulisan
KOMPAS.com, Wikipedia, Data dan Informasi Kemiskinan (BPS, buku), KEY INDICATORS FOR ASIA AND THE
PASIFIC 2011, 48th Edition, ADB, August 2011. Data-data
bersumber dari World Bank, dan BPS
Komentar
Posting Komentar