Hari ini, Minggu
(10/9/2011) pukul 13.47 WIB, KOMPAS.com menurunkan berita mengenai usulan untuk
merevisi garis kemiskinan (GK) yang selama ini digunakan oleh Pemerintah−Badan
Pusat Statistik (BPS)-dalam menghitung jumlah orang miskin di Indonesia.
Selangkapnya, berita tersebut dapat Anda baca pada tautan berikut
Dalam berita tersebut
dinyatakan bahwa Komisi XI DPR akan mengarahkan pemerintah agar mengubah GK
yang saat ini ditetapkan setara dengan penghasilan Rp 230.000 per orang dalam
sebulan.
GK yang ada saat ini dinggap salah kaprah karena mengabaikan mereka yang memiliki penghasilan sedikit di atas Rp 230.000 per bulan atau Rp 9.000 ribu perhari, padahal seorang pengemis saja sekarang ini bisa mengumpulkan lebih dari Rp 10.000 ribu per hari−kenyataannya memang banyak pengemis yang kaya, mereka pura-pura miskin dengan menjadi pengemis.
Lebih lanjut dalam berita
tersebut dinyatakan Komisi XI DPR akan mendorong pemerintah untuk
memasukkan satu pasal khusus dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN 2012
yang menekankan bahwa anggaran yang dialokasikan pada APBN 2012 adalah untuk
mengatasi kemiskinan dengan target tertentu. Pasal itu juga harus menegaskan
bahwa target pengentasan rakyat dari kemiskinan tersebut didasarkan atas garis
kemiskinan yang baru.
Sebelum menanggapi isi
berita tersebut, ada baiknya kita semua mengetahui dan memahami terlebih dahulu
defenisi kemiskinan serta bagaimana GK dan angka kemiskinan itu
dihitung oleh BPS.
Defenisi kemiskinan
Secara umum, kemiskinan
didefinisikan sebagai kondisi saat seseorang atau sekelompok orang tak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Defenisi ini menjukkan makna kemiskinan sangat laus dan
multidimensi, serta tidak mudah untuk mengukurnya. Contohnya, apa yang dimaksud
dengan kehidupan yang bermartabat? Setiap orang tentu akan
menginterpretasikannya secara berbeda-beda, sehingga dapat mengundang
perdebatan panjang. Selain itu, tidak semua hak-hak dasar dapa dikuantifikasi,
seperti rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial-politik.
Karenanya, hingga saat ini tak ada satupun metode yang sempurna dalam memotret kemiskinan. Selama ini, pengukuran kemiskinan menggunakan pendekatan metode statistik−metode kuantitatif−yang banyak memiliki keterbatasan, karena tidak semua variable yang ingin diukur dapat dikuantifikasi.
Salah satu konsep
pengukuran kemiskinan yang diterapkan di banyak negara, termasuk
Indonesia,adalah konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (basic needs). Dengan
konsep ini, definisi kemiskinan yang sangat luas mengalami penyempitan makna
karena kemiskinan hanya dipandang sebagai ketakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Di Indonesia, pengukuran
kemiskinan dilakukan oleh BPS setiap tahun di bulan Maret. Dengan demikian,
angka kemiskinan yang dimumkan oleh BPS sebenarnya adalah kondisi Maret,
setelah Maret kondisi kemiskinan pasti berubah karena kemiskinan pada dasarnya
bersifat dinamis.
Dalam prakteknya,
pengukuran kemiskinan dengan pendekatan kebutuhan dasar menggunakan GK atau
batas kemiskinan absolut sebagai instrument untuk menentukan miskin tidaknya
seseorang. GK dapat dipandang sebagai jumlah rupiah minimum yang diperlukan
oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan.
Penduduk dengan pengeluaraan per kapita per bulan lebih kecil dari GK
selanjutnya disebut miskin.
Mengenal lebih dekat
metode penghitungan GK
Sebagaimana telah saya
sebutkan sebelumnya, GK merupakan jumlah rupiah minimum yang diperlukan
oleh seseorang untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan.
Karenanya, GK terdiri dari dua komponen yaitu GK Makanan (GKM) dan GK Non
Makanan (KGNM).
GKM merupakan nilai
pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kkal per
kapita per hari. Dengan mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun
1978, jumlah kalori sebesar ini merupakan jumlah kalori minimum yang diperlukan
oleh seseorang untuk bisa beraktivitas secara normal, bekerja untuk memperoleh
pendapatan. Selanjutnya, paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili
oleh 52 jenis komoditi, yakni padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan
susu, dll.
Sementara itu, GKNM
merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum untuk perumahan, sandang,
pendidikan, dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makananan
diwakili oleh 51 jenis komoditi di perkotaan dan 47 jenis komoditi di
perdesaan. Pemilihan jenis barang dan jasa non makanan mengalami perkembangan
dan penyempurnaan dari tahun ke tahun disesuaikan dengan perubahan pola
konsumsi penduduk.
GK merupakan hasil
penjumlahan GKM dan GKNM yang dihitung secara terpisah untuk daerah
perkotaan dan perdesaan pada masing-masing provinsi−jika ukuran sample
memungkinkan, maka penghitungan GK juga dapat dilakukan sampai tingkat
kabupaten/kota. GK sebesar Rp 233.740 pada tahun 2011 merupakan rata-rata
nasional dari 33 provinsi untuk daerah perkotaan dan perdesaan.
Penghitungan GK
didasarkan pada database pengeluaran
konsumsi dari 68.000 sampel rumah tangga di seluruh Indonesia yang diperoleh
dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS). SUSENAS ditujukan untuk
menangkap pola konsumsi rumah tangga di seluruh Indonesia. Dari survei ini
diperoleh secara rinci alokasi pengeluaran konsumsi rumah tangga atas kebutuhan
makanan dan non makanan setiap bulannya, yang apa bila dirinci akan mencakup
lebih dari 500 item pengeluaran. Dengan demikian, dari data SUSENAS akan
diperoleh nilai pengeluaran konsumsi komoditi makanan dan non makanan
yang digunakan dalam penghitungan GK. Karena dihitung berdasarkan data survei,
angka kemiskinan yang dihasilkan pada dasarnya hanyalah estimasi.
Sebelum GK dihitung,
terlebih dahulu ditentukan kelompok reference
population, yaitu 20 persen penduduk yang nilai pengeluarannya
berada di atas garis kemiskinan sementara (GKS). Kelompok ini disebut penduduk
kelas marjinal atau dalam bahasa awan disebut penduduk hampir miskin. Dari
kelompok penduduk ini kemudian dihitung GKM dan GKNM. Dengan lain perktaan,
pada dasarnya GK merupakan nilai pengeluaran penduduk kelas marjinal untuk
memenuhi kebutuhan dasarnya−makanan dan non makanan.
GKS dihitung berdasarkan
GK periode sebelumnya yang di-inflate atau
digerakkan dengan inflasi umum. Itulah sebabnya, dari tahun ke tahun nilai
nominal GK terus minangkat mengikuti pergerakan inflasi. Dan hal ini sekaligus
membantah tuduhan dari sebagian orang bahwa selama ini BPS merekayasa angka
kemiskinan dengan menurunkan nilai GK yang digunakan agar angka kemiskinan
turun.
Selanjutnya, berdasarkan
data SUSENAS, penduduk dengan pengeluaran per kapita perbulan di bawah garis
kemiskinan disebut miskin. Terus, apakah mereka yang memiliki pengeluaran per
kapita per bulan sedikit di atas GK lantas disebut kaya? Jawabannya adalah “tidak”.
Mereka tidak kaya, tetapi hampir miskin.
Kata hampir secara
kuantitatif menunjukkan bahwa pengeluaran mereka berbeda tipas dengan penduduk
miskin dan tidak signifikan dalam membedakan tingkat kesejahteraan mereka
dengan penduduk miskin. Sehari-hari, kondisi kesejahteraan mereka dibanding
penduduk miskin mungkin tidak jauh berbeda, bahkan sama−defenisi hampir miskin
dapat diubah sesuai kebijakan suatu negara. Dan inilah kelemahan dari
pengukuran kemiskinan dengan menggunakan GK atau batas kemiskinanobsolute.
Bukanhanya di Indonesia, di negara mana pun juga seperti ini. Untuk lebih
jelasnya, berdasarkan data tahun 2011, berikut adalah ilustrasinya :
[Picture Under Constructed]
Berdasrakan peraga di
atas, terlihat jelah bahwa penduduk miskin adalah mereka yang memiliki
pengeluaran per kapita per bulan kurang dari Rp 233.470 atau sekitar Rp 7782
rupiah per hari. Pada Maret 2011, jumlahnya sebesar 30.02 juta orang. Adapun
penduduk hampir miskin adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per
bulan antara Rp 233.470 - Rp 280.488. Atau dengan lain perkataan, selisih
nilai pengeluaran mereka dengan GK tidak lebih dari 20 persen. Dan pada
Maret 2011, jumlah mereka mencapai 27,12 juta orang.
Jika diperluas, maka
diperoleh kelompok penduduk hampir tidak miskin dan penduduk tidak miskin.
Penduduk hampir tidak miskin adalah mereka dengan nilai pengeluaran per kapita
per bulan antara Rp 280.488- Rp 350.160. Adapun, penduduk tidak miskin adalah
mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih dari Rp
350.160 atau sekitar Rp 12.000 per hari. Atau dengan lain perkataan,
selisih nilai pengeluaran mereka dengan GK lebih dari 50 persen.
Catatan penting
Penting untuk
diperhatikan bahwa pendekatan yang digunakan ketika menghitung angka kemsikinan
adalah pengeluaran, bukan penghasilan. Dua hal ini tentu berbeda, karena
penghasilan biasanya dihasilkan oleh satu kepala keluarga, tetapi
dikeluarkan kepada seluruh anggota keluarganya.
Dengan demikian, jika
satu keluarga beranggotakan empat orang, maka keluarga yang dianggap miskin
adalah keluarga yang hanya berpengeluaran di bawah Rp. 934.960/keluarga/bulan
atau setara dengan Rp 31.165/keluarga/hari . Dan keluarga tidak miskin adalah
keluarga dengan pengeluaran di atas Rp 1.400.000/keluarga/bulan atau setara
dengan Rp 46.667/keluarga/hari.
Dengan melihat angka-angka di atas, nampak jelas bahwa GK yang digunakan oleh BPS sangat rasional dan telah sesuai dengan realitas kondisi ekonomi penduduk Indonesia saat ini. Kita tidak bisa membantah sesuatu yang dihasilkan melalui suatu metodologi yang didesain secara ilmiah untuk mewikili populasi, yakni seluruh penduduk Indonesia yang tersebar di 33 provinsi baik itu di perdesaan maupun perkotaan, dengan menggunakan penarikan kesimpulan secara parsial, yakni berdasarkan apa yang kita saksikan di kanan-kiri lingkungan tempat tinggal kita yang kemudian kita anggap sebagai realitas populasi. Anda yang tinggal di perkotaan mungkin tidak tahu bahwa data statistik hasil sensus penduduk menunjukkan sekitar 50 persen penduduk Indonesia hidup di daerah perdesaan. Dan sebuah keluarga dengan pengeluaran Rp 30.000/hari di daerah perdesaan sangat tidak pantas untuk disebut miskin.
Jika ditelaah lebih jauh lagi, nilai Rp. 934.960 akan sesuai dengan rata-rata batas upah minimum di Indonesia, bahkan lebih tinggi dari upah minimum beberapa provinsi di Indonesia. Dan suatu keluarga dengan kepala keluarga seorang pengemis berpenghasilan Rp 10.000 per hari dapat dipastikan bakal sulit memiliki penghasilan di atas Rp. 934.960 per bulan.
Selain itu, penting pula
untuk diperhatikan bahwa data kemiskinan yang dihasilkan dengan menggunakan GK
adalah data kemiskinan makro. Data ini hanya dapat digunakan untuk melihat
perkembangan jumlah penduduk miskin dari waktu ke waktu beserta
karakteristiknya sehingga perencanaan penurunan tingkat kemiskinan dapat
dikaitkan dengan perencanaan pembangunan dalam bidang lainnya seperti
perencanaan tingkat pertumbuhan, investasi, dan peningkatan kesempatan kerja,
serta untuk mengevaluasi kebarhasilan program-progran anti kemiskinan yang
telah dilakukan oleh pemerintah dari waktu ke waktu.
Untuk program-program
anti kemiskinan yang sifatnya target sasaran−jaring-jaring pengaman sosial,
seperti raskin, PKH, Jamkesmas, dll−data kemiskinan makro tidak dapat
digunakan, karena hanya mampu menggambarkan jumlah dan persentase penduduk
miskin beserta karakteristiknya. Data ini tidak bisa menjawab pertanyaan, siapa
si miskin dan dimana alamatnya? Karenanya, untuk program-program anti
kemiskinan yang sifatnya target sasaran dibutuhkan data kemiskinan mikro yang
memuat informasi tentang siapa si miskin dan di mana alamatanya (direktori
rumah tangga msikin).
Data kemiskinan mikro
dihasilkan melalui metode yang berbeda dengan data kemiskinan makro yang
menggunakan GK. Pengumpulan data kemiskinan mikro didasarkan pada
ciri-ciri rumah tangga miskin supaya pendataan bisa cepat dan hemat biaya.
Sampai saat ini baru tiga kali BPS mengumpulkan data kemiskinan mikro: Oktober
2005, September 2008, dan Juli 2011−yang masih sementara berjalan.
Data yang diperoleh disebut data rumah tangga sasaran (RTS) dan mencakup bukan hanya rumah tangga miskin, tetapi juga rumah tangga hampir miskin yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan.Jumlah RTS hasil pendataan September 2008 adalah 17,5 juta. Dengan asumsi kasar rata-rata jumlah anggota rumah tangga empat orang, diperoleh angka 70 juta jiwa penduduk miskin dan hampir miskin.
Tanggapan atas usulan
untuk merevisi GK
Usulan Komisi XI DPR
untuk merevisi GK yang ada kurang tepat. Karena GK tersebut
dihasilkan melalui suatu metodologi baku yang merujuk pada standar
internasioanl−United
Nations (UN). Merevisi GK sama artinya dengan mengubah
metodologi yang ada. Padahal, metode tersebut adalah yang terbaik saat ini,
meskipun masih memiliki kekurangan.
Seharusnya, Komisi XI DPR
mendorong pemerintah agar meningkatkan anggaran untuk perbaikan penyelanggraan
kegiatan statitsistik-termasuk perbaikan dan penyempurnaan metodologi-sehingga
diperoleh data kemiskinan yang lebih berkualitas. Misalnya, dengan meningkatkan
jumlah sampel yang digunakan dalam SUSENAS. Jumlah 68.000 sample rumah tangga
yang ada selama ini masih perlu ditingkatkan.
Dan yang paling penting,
Komisi XI DPR hendaknya mendorong pemerintah untuk meningkatkan jumlah penduduk
yang menjadi target program-program anti kemiskikan, yakni program
jaring-jaring pengamanan sosial (JPS) yang selama ini dikelola oleh Kementrian
Sosial seperti Jamkesmas, PKH (program keluarga harapan), PNPM
Mandiri, Raskin, beasiswa untuk orang miskin, dan beberapa program
kesejahteraan sosial lainnya.
Yang menjadi target
hendaknya bukan hanya mereka yang miskin dan hampir miskin (pengeluaran di bawah
1,2 GK), tetapi juga mereka yang termasuk kelompak hampir tidak miskin
(pengeluaran di bawah 1,5 GK). Dan konsekwensi dari hal ini sangat jelas,
yakni pemerintah harus meningkatkan jumlah anggaran yang dialokasikan untuk
program-program pengurangan kemiskinan. (*)
Komentar
Posting Komentar