Tahun ini, pemerintah
berencana menaikkan cukai tembakau sebesar 12,2 persen. Selain untuk mencegah
peredaran rokok dan cukai ilegal serta menggenjot penerimaan pemerintah, tujuan
langkah ini diambil adalah untuk mengurangi tingkat konsumsi rokok
penduduk negeri ini yang memang masih sangat tinggi. Langkah menaikkan tarif
cukai tembakau untuk mengurangi konsumsi rokok sebetulnya kurang efektif.
Karena, kebiasaan merokok adalah sesuatu yang adiktif, dan orang akan berhenti
merokok karena kesadaran, bukan karena harganya yang menjadi sediki lebiht
mahal.
Hasil Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilakukan BPS pada tahun 2007 menunjukkan bahwa
secara rata-rata penguluaran untuk rokok mencapai 12,4 persen dari total
pengeluaran setiap penduduk Indonesia setiap bulannya, nomor dua setelah
pengeluaran untuk padi-padian (19 persen). Bahkan, pengeluaran untuk rokok
ternyata lebih tinggi tiga kali lipat dibanding pengeluaran untuk pendidikan
dan kesehatan. Dan data ini saya kira masih representatif untuk kondisi saat
ini.
Selain itu, ada data yang
menunjukkan—walaupun masih perlu dipertanyakan kevalidannya—bahwa rata-rata
pengeluaran per kapita untuk rokok penduduk Indonesia mencapai Rp135.000 per
bulan. Dan saat ini, jumlah perokok di negeri ini mencapai 34 persen dari total
populasi yang diperkirakan telah menembus angka 240 juta orang.
Persoalan mengenai
konsumsi rokok di negeri ini tidak hanya menyangkut tingginya jumlah perokok.
Lebih dari itu, kebiasaan mengisap racun ini ternyata telah menjadi bagian tak
terpisahkan dari keseharian banyak remaja, bahkan balita di negeri ini.
Saat ini, tidak sulit
bagi kita untuk menemukan anak-anak usia SD, SMP, apalagi SMA berkeliaran di
jalan-jalan dengan sebatang rokok di tangannya. Anda juga tentu masih ingat
dengan kasus seorang balita dari Kalimantan Timur (Kaltim) yang punya kebiasaan
unik, yakni menghisap rokok bak orang dewasa—yang dengan itu dia dijuluki baby smoker—beberapa
waktu yang lalu. Ternyata, menurut informasi dari Gubernur Kaltim, masih ada
sekitar 15 ribu balita lainnya di Kaltim yang juga memiliki kebiasaan yang
sama. Itu baru di Kaltim. Bagaimana dengan di provinsi-provinsi lainnya?
Kebiasaan merokok
ternyata juga tidak menjadi monopoli mereka yang memiliki kondisi ekonomi yang
baik—berpendapatan menengah atau tinggi—statistik yang ada menunjukkan sekitar
70 persen perekok di negeri ini ternyata adalah penduduk berpendapatan rendah
alias miskin. Bahkan, pengeluaran untuk rokok di kalangan penduduk miskin cukup
tinggi, menempati posisi kedua setelah pengeluaran untuk beras.
Data yang dirilis oleh
BPS Senin lalu (2/1) menunjukkan kontribusi rokok terhadap pembentukan garis
kemiskinan menempati posisi kedua setelah beras, yakni sebesar 8,31 persen di
perkotaan dan 7,11 persen di perdesaan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar pendapatan
penduduk miskin, selain dialokasikan untuk membeli beras, juga dialokasikan
untuk membeli rokok.
Padahal, dengan
mengkonsumsi rokok tidak ada sama sekali kalori yang diperoleh, dan tentu akan
lebih bermanfaat jika pendapatan yang digunakan untuk membeli rokok
dialokasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat, misalnya, untuk pemenuhan
protein atau untuk biaya pendidikan dan kesehatan.Yang sedikit banyak dapat
membantu mereka keluar dari jerat kemiskinan.
Tingginya konsumsi rokok
di kalangan penduduk miskin—yang sedikit banyak menyebabkan mereka menjadi
semakin sulit keluar dari jerat kemiskinan—adalah sebuah ironi jika dikaitkan
dengan kenyataan bahwa mereka yang terkaya di negeri ini justru adalah para
penggiat industri racun ini, para pemilik pabrik-pabrik rokok.
Sebagaimana diberitakan
dalam majalah Forbes beberapa waktu yang lalu (23/11/2011). Orang terkaya di
Indonesia adalah dua bersaudara Budi Hartono dan Michael Hartono dengan nilai
kekayaan mencapau 14 milai dollar AS atau setara dengan 127 triliun rupiah,
disusul oleh Susilo Wonowijoyo di posisi kedua dengan nilai kekayaan mencapai
10 miliar dollar AS atau sekitar 91 triliun rupiah. Sebagian Anda tentu tahu,
Hartono bersaudara adalah pemilik PT. Djarum, begitupula dengan Susilo Wonowijoyo
adalah pemilik PT.Gudang Garam.
Saya tidak mempersoalkan
kekayaan para pemilik pabrik rokok itu. Terlepas bahwa apa yang mereka produksi
adalah racun, mereka tentu telah berkontribusi terhadap perekonomian nasional
melalui penyerapan tenaga kerja dan penerimaan pajak. Tetapi, industri rokok
yang menjadikan segelintir orang di negeri ini kaya raya bukan kepalang, dan di
sisi lain memiskinkan puluhan juta penduduk negeri ini tentu sebuah ironi dan
ketidakadilan.
Dan pada tahun ini,
produksi rokok nasional diperkirakan akan mencapai 268,4 miliar batang. Jumlah
yang sudah barang tentu tidak sedikit jika dirupiahkan. Jika diasumsikan harga
satu batang rokok Rp500,- rupiah saja, itu artinya nilai produksi rokok tahun ini
bisa mencapai Rp134,2 triliun rupiah. Angka yang sangat fantastis, dan Anda
tentu bisa menerka siapa saja yang bakal diuntungkan dan menjadi lebih kaya
dengan nilai produksi sebesar itu. Mereka tidak lain dan tidak bukan adalah
pemilik nama-nama yang telah saya sebutkan di atas. Terus bagaimana dengan
nasib perokok miskin yang jumlahnya tidak sedikit di negeri ini, apakah mereka
juga bakal diuntungkan? Apapun jawabannya, yang pasti mereka samasekali tidak
mendapatkan manfaat dan keuntungan dari setiap batang rokok yang mereka
hisap—yang justru kian memiskinkan mereka itu.
Komentar
Posting Komentar