Langsung ke konten utama

Jumlah Si Miskin (1): Statistik yang Membingungkan

Bagi sebagian orang, angka kemiskinan yang beredar di ruang publik acap kali membingungkan. Sumber kebingungan itu adalah beragamnya angka dengan besaran yang berbeda-beda. Ada angka kemiskinan versi pemerintah yang diadasarkan pada garis kemiskinan yang terlampau rendah—menurut sejumlah kalangan—itu, ada pula angka kemiskinan versi lembaga internasional seperti Asian Development Bank (ADB) dan World Bank (Bank Dunia) yang didasarkan pada garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar PPP atau 2 dollar PPP. Masing-masing versi menyajikan angka kemiskinan yang berbeda, berselisih, dan pastinya membuat bingung.

Pada Agustus 2011, misalnya, dalam sebuah laporan bertajuk “Poverty in Asia and the Pacific: An Update”, ADB melaporkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 43,07 juta jiwa jika menggunakan garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar PPP, atau meningkat sebesar 3,31 juta jiwa jika dibandingkan dengan kondisi 2008 (jumlah penduduk miskin sebesar 40,36 juta jiwa). Laporan ini jelas membingungkan karena tidak sejalan dengan statistik kemiskinan resmi versi pemerintah—yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). 

Terkait perkembangan kemiskinan sepanjang 2008 hingga 2010, laporan BPS justru menunjukkan sebaliknya: jumlah penduduk miskin terus menurun secara konsisten. BPS mencatat, di 2008 jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 34,96 juta jiwa atau sekitar 15,42 persen dari total penduduk, sementara di 2010 jumlah penduduk miskin mencapai 31,02 juta jiwa atau 13,33 persen.

Artinya, jika merujuk pada data BPS, sepanjang 2008 hingga 2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia telah berkurang sebesar 3,94 juta jiwa, bukan meningkat seperti laporan ADB. Menariknya, laporan BPS ini ternyata sejalan dengan hasil hitung-hitungan Bank Dunia. Dengan menggunakan batas kemiskinan sebesar 1,25 dollar PPP, Bank Dunia melaporkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia sepanjang 2008 hingga 2010 menurun secara konsisten dengan rata-rata penurunan mencapai 2,3 persen per tahun, jauh lebih tinggi dibanding rata-rata penurunan hasil hitungan BPS yang hanya sebesar 1 persen per tahun. Bahkan, rata-rata penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia bakal lebih besar lagi, menurut versi Bank Dunia, jika garis kemiskinan yang digunakan sebesar 2 dollar PPP, yakni mencapai 4,2 persen per tahun.

Orang tentu bakal bertanya, mengapa hasil perhitungan ADB—terkait perkembangan angka kemiskinan di Indonesia sepanjang 2008-2010—kontradiksi dengan hasil perhitungan BPS dan Bank Dunia? Jawaban dari pertanyaan ini telah dijelaskan oleh ADB dalam laporan yang sama, yakni perbedaan metodologi penghitungan.

Ketika menghitung angka kemiskinan Indonesia di 2008, ADB menggunakan basis data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) , sementara angka kemiskinan tahun 2010 dihitung oleh ADB dengan menggunakan pemodelan ekonometrik. Adapun BPS dan Bank Dunia, selama ini konsisten menggunakan basis data Susenas untuk menghitung angka kemiskinan di Indonesia. Metode yang digunakan BPS dan Bank Dunia pun serupa, yang membedakan hanyalah batas atau garis kemiskinan yang digunakan. 
Sekedar tambahan, Susenas adalah survei rutin yang diselenggarakan oleh BPS untuk memotret pengeluaran konsumsi—makanan dan nonmakanan—seluruh rumah tangga di Indonesia. Itu artinya semua versi angka kemisikinan yang beredar di ruang publik selama ini sejatinya dihitung berdasarkan data yang sama, yakni data hasil Susenas. Yang tidak lain dan tidak bukan adalah data BPS. 

Terus angka versi mana yang sebaiknya digunakan untuk menggambarkan kemiskinan di Indonesia: BPS, ADB, ataukah Bank Dunia? Bukankah masing-masing versi menyajikan angka yang berbeda? Kenapa BPS tidak menggunakan garis kemiskinan ADB atau Bank Dunia saja, bukankah garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar PPP atau 2 dollar PPP rasa-rasanya lebih masuk akal dan manusiawi ketimbang garis kemiskinan BPS yang besarnya tidak lebih dari 300 ribu rupiah per bulan atau 10 ribu rupiah per hari itu? Atau jangan-jangan pemerintah telah melakukan politisasi angka kemiskinan dengan sengaja menggunakan batas kemiskinan yang rendah agar angka kemiskinan yang dihasilkan juga rendah. Semua pertanyaan ini akan dijawab secara tuntas pada artikel selanjutnya,Jumlah Si Miskin(2): Kemiskinan, Bagaimana Mengukurnya?”.(*)

Referensi:
Asian Development Bank (ADB). 2011. Poverty in Asia and the Pacific: An Update. ADB Economics   Working Paper Series.
Haughton dan Khander. 2009. Handbook Poverty +Inequality. World Bank. Washingtong, DC.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke s

Pertanyaan Tentang Kemiskinan dari Mentawai

Suatu tempo, seorang sahabat nun di Pulau Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), melayangkan sejumlah pertanyaan terkait penghitungan angka kemiskinan kepada saya via Facebook. Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya. Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya. " Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat nian kawan yang satu ini. Kecil-kecil sudah jadi pejabat dan presenta

Indonesia Pusat Kemiskinan Asia Tenggara

Laporan bertajuk ‘Financing the Sustainable Development Goals in ASEAN: Strengthening integrated national financing frameworks to deliver 2030 Agenda’ yang dirilis belum lama ini  menyebutkan bahwa secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) telah berhasil mencapai sebagian besar target the Millenium Development Goals (MDGs) selama kurun waktu 2005 hingga 2015. Namun demikian, masih ada sejumlah catatan yang mesti dibereskan. Dan, sebagian catatan tersebut berkait erat dengan peran Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN. Diketahui, ASEAN merupakan rumah bagi lebih dari 600 juta jiwa yang tersebar di 10 negara, dan lebih dari sepertiga dari total jumlah tersebut merupakan penduduk Indonesia. Terkait masalah kekurangan gizi (malnutrisi), misalnya, Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kekurangan gizi kronik yang tercermin dari tingginya prevalensi balita bertubuh kerdil ( stunting ). Laporan ini menyebutkan, 36 persen balita di Tanah Air bertubuh kerdil.