“Statisticians, especially those in charge of producing “official” figures, have a special role to play in bringing statistics closer to citizens, not only through media, but also by fostering statistical culture.” (Enrico Giovannini).
“Jika dikomparasikan dengan ukuran internasional (Bank Dunia), patokan yang dipakai dalam data kemiskinan makro (BPS) masih kurang dari US$ 1. Jika memakai ukuran US$ 1 saja, maka patokan pendapatan penduduk miskin seharusnya Rp 260.000/bulan….Dengan begitu, problem utama dari penghitungan jumlah penduduk miskin adalah menyangkut penentuan batas pendapatan penduduk miskin itu sendiri. Jika memakai standar baku internasional, maka batas itu sekitar US$ 2/hari atau setara Rp 540.000 (dengan menggunakan asumsi Rp 9000/1 US$).”(Seputar Indonesia, 2/7/2011).
Kutipan di atas adalah tulisan seorang pakar ekonomi kondang yang namanya kerap menghiasi kolom opini koran-koran nasional. Sengaja saya kutip untuk menunjukkan bahwa kesalahpahaman terhadap garis kemiskinan tidak hanya terjadi di kalangan awam, tetapi juga pada mereka yang disebut pakar. Parahnya, karena pakar, kekeliruan mereka—dalam hal garis kemiskinan—selalu diamini oleh media dan diwartakan dengan begitu meyakinkan. Ini bukan persoalan remeh. Keselahan dalam menginterpretasikan data statistik mungkin hal yang biasa. Tetapi kesalahan itu menjadi berbahaya jika dilakukan oleh mereka yang suaranya mampu memengaruhi opini publik dalam spektrum yang luas.
Tulisan ini akan mengulas kekeliruan mendasar dalam kutipan di atas, yakni soal penggunaan pendapatan yang dinyatakan dalam dollar AS (currency) dalam penentuan batas atau garis kemiskinan.
Garis Kemiskinan: Relatif versus Absolut
Garis kemiskinan (GK) merupakan alat yang paling krusial dalam pengukuran kemiskinan. Sebuah cutoff point— yang dinyatakan dalam nominal uang—untuk memisahkan penduduk miskin dan nirmiskin dalam populasi. Secara sederhana, penduduk atau rumah tangga dengan pengeluaran atau pendapatan di bawah GK disebut miskin.
Dalam prakteknya, penghitungan GK tidaklah mudah. Penentuan GK amat bergantung pada bagaimana kemiskinan itu dilihat: apakah secara relatif ataukah absolut? Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditegaskan di sini bahwa tulisan ini dan juga dua tulisan sebelumnya melihat kemiskinan dari sudut pandang absolut.
Dalam konteks kemiskinan relatif, GK akan berubah dari waktu ke waktu bergantung pada perubahan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Ini dikarenakan, dalam konteks relatif, kemiskinan dilihat dari perspektif seberapa sejahtera seseorang terhadap orang lain dalam masyarakat. Dengan demikian, kemiskinan dan si miskin akan selalu eksis dalam masyarakat (“the poor always with us”).
Jika data lengkap mengenai pengeluaran (pendapatan) setiap individu atau rumah tangga tersedia, penentuan GK dalam konteks kemiskinan relatif sangat mudah dilakukan. Caranya adalah dengan mengurutkan individu atau rumah tangga berdasarkan nilai pengeluaran (pendapatan)-nya kemudian menentukan GK secara relatif. Sebagai contoh, GK misalnya ditetapkan sama dengan 50 persen atau setengah dari rata-rata pengeluaran (pendapatan) seluruh penduduk atau rumah tangga. Dengan demikian, penduduk atau rumah tangga dengan pengeluaran (pendapatan) yang lebih kecil dari setengah rata-rata pengeluaran (pendapatan) seluruh penduduk atau rumah tangga disebut miskin.
Cara penentuan GK seperti ini dipraktekkan oleh Uni Eropa (European Union). Uni Eropa mendefnisikan bahwa si miskin di negara-negara Eropa adalah mereka yang memiliki pendapatan kurang dari 50 persen median (nilai tengah) pendapatan seluruh penduduk. Dengan cara seperti ini, GK tentu akan berubah dari waktu ke waktu seiiring perubahan nilai median pendapatan seluruh penduduk.
Penentuan GK secara relatif juga terkadang tergantung pada tujuan pengukuran kemiskinan. Misalnya, jika tujuannya adalah untuk menentukan individu atau rumah tangga yang bakal menjadi target berbagai program anti kemiskinan, pengambil kebijakan (pemerintah) mungkin akan menggunakan persentil ke-40 sebagai cutoff point sehingga GK akan sama dengan nilai pengeluaran (pendapatan) individu atau rumah tangga pada persentil ke-40. Dengan demikian, 40 persen individu atau rumah tangga dengan pengeluaran (pendapatan) terendah akan dikategorikan miskin dan menjadi target program anti kemiskinan.
Berbeda dengan GK dalam konteks kemiskinan relatif, dalam konteks kemiskinan absolut GK selalu tetap (fixed) dari waktu ke waktu. Perlu dipahami bahwa makna kata tetap di sini bukan pada nilai nominalnya tetapi pada standar yang digunakan untuk menghitung GK. Dalam prakteknya, GK secara nominal akan berubah—meskipun tidak signifikan—setelah mengalami penyesuain terhadap perkembangan harga-harga (inflasi).
Penggunaan GK—dengan standar—yang tetap sangat berguna untuk perbandingan kemiskinan antar waktu dan antar wilayah, serta untuk mengevaluasi dan memonitor keberhasilan berbagai program dan kebijakan anti kemiskinan yang telah dijalankan dari waktu ke waktu. Terkait pencapaian tujuan MDGs, misalnya, Bank Dunia menggunakan GK absolut sebesar 1,25 dollar PPP dan 2 dollar PPP untuk membandingkan kemiskinan antar negara sekaligus mengevaluasi keberhasilan “perang” melawan kemiskinan secara global.
Dalam konteks kemiskinan absolut, penghitungan GK didasarkan pada konsep bahwa si miskin adalah mereka yang tidak mampu memenuhi kebutuhan—makanan dan non-makanan—agar dapat mencapai derajat hidup layak (well-being). Dalam kasus ini, GK ditentukan dengan menghitung biaya yang dibutuhkan individu atau rumah tangga untuk mendapatkan paket komoditi (bundle commodities) yang merupakan kebutuhan dasar untuk hidup layak. Dengan kata lain, jika diasumsikan bahwa indikator hidup layak yang digunakan adalah nilai konsumsi, si miskin adalah mereka yang nilai konsumsinya lebih kecil dari GK yang merupakan standar minimum hidup layak.
Ada tiga metode yang dikenal dalam penghitungan GK dalam konteks kemiskinan absolut, yakni metode biaya pemenuhan kebutuhan dasar (cost of basic needs approach), kecukupan asupan energi (food energy intake), dan garis kemiskinan subjektif (subjective poverty line).
Metode biaya pemenuhan kebutuhan dasar merupakan metode yang paling banyak digunakan di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Indonesia. Secara teknis, penghitungan GK dengan metode ini dilakukan dengan terlebih dahulu mengestimasi biaya (cost) yang harus dikeluarkan oleh individu untuk memperoleh makanan yang cukup sehingga kebutuhannya akan nutrisi (energi) terpenuhi—biasanya, ditetapkan sebesar 2.100 kilo kalori per orang per hari—kemudian menambahkannya dengan biaya yang harus dikeluarkan oleh individu untuk memenuhi berbagai kebutuhan esensial non-makanan, seperti pakaian, perumahan, pendidikakan, dan kesehatan.
Penentuan GK dengan menggunakan metode pemenuhan kebutuhan dasar membutuhkan ketersediaan informasi mengenai harga barang yang dikonsumsi oleh si miskin. Jika informasi ini tidak tersedia, metode kecukupan asupan energi dapat digunakan. Pada dasarnya, dengan metode kecukupan asupan energi nilai GK merupakan tingkat pengeluaran (pendapatan) individu yang dengannya memungkinkan bagi individu tersebut untuk memenuhi kecukupan asupan energinya sebesar 2.100 kilo kalori per hari.
Metode garis kemiskinan subjektif juga dapat digunakan selain dua metode objektif yang telah disebutkan di atas. Secara teknis, GK ditentukan dengan menanyakan kepada masayarakat (dalam sebuah survei) seberapa besar level pendapatan minimum yang dibutuhkan untuk memenuhi semua kebutuhan dasar mereka….(bersambung).
Komentar
Posting Komentar