“Saudara-saudara kita yang saat ini tengah bergulat dengan kemiskinan itu sama sekali tak butuh data atau angka, yang mereka butuhkan adalah upaya kita semua untuk membantu mereka keluar dari lembah kemiskinan. Dan, segala upaya itu tidak akan maksimal jika tidak didukung dengan data yang akurat”
Pada November 2011, Perkumpulan Prakarsa, sebuah lembaga independen yang berfokus pada studi mengenai pembangunan dan kesejahteraan di Indonesia, mempublikasikan sebuah paper menarik bertajuk “Kemiskinan Melonjak, Jurang Ketimpangan Melebar.” Paper ini ditulis dengan analisis yang begitu bertenaga dan syarat akan data.
Salah satu tema yang diulas adalah mengenai “politik angka kemiskinan.” Ada “kekhawatiran” bahwa terkait perhitungan kemiskinan di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) telah dijadikan alat politik oleh pemerintah. Tentu saja, untuk apalagi kalau bukan pencitraan.
Kekhawatiran ini memang wajar, mengingat di satu sisi BPS merupakan lembaga bentukan pemerintah—yang bertanggungjawab langsung kepada presiden—sementara di sisi lain statistik kemiskinan yang dihitung BPS merupakan salah satu tolak ukur baik-buruknya kinerja pemerintah. Terkait hal ini, statistik kemiskinan yang dihasilkan BPS tentu sangat rentan untuk dipolitisasi.
Dalam hal ini, bisa saja BPS menggunakan standar kemiskinan (garis kemiskinan) yang sengaja dibuat minimal (konservatif) agar statistik kemiskinan yang dihasilkan sesuai dengan “pesanan” pemerintah. Inilah yang dimaksud dengan politik angka kemiskinan menurut Perkumpulan Prakarsa. Jika hal ini benar terjadi, tentu sangat berbahaya dan tidak manusiawa. Tega-teganya, jumlah penduduk miskin dipermainkan dan diramu sedemikian rupa oleh BPS hanya untuk menyenang-nyenangkan penguasa.
Mendudukkan perbedaan
Kekhawatiran Perkumpulan Prakarsa terkait kemungkinan adanya politisasi angka kemiskinan didasari sebuah laporan bertajuk Poverty in Asia and Pacific: An Updateyang dipublikasikan Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) pada Agustustus 2011. Terkait isi laporan yang dimaksud, Anda dapat membacanya pada tulisan saya sebelumnya: Jumlah Si Miskin (1): Statistik yang Membingungkan.
Dalam laporan tersebut, ADB melaporkan bahwa—dengan menggunakan garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar AS (PPP)—perkembangan kemiskinan di Indonesia sepanjang tahun 2008—2010 cenderung memburuk. Jumlah penduduk miskin dilaporkan bertambah sebanyak 2,7 juta jiwa, yakni dari 40,4 juta jiwa di 2008 menjadi 43,1 juta jiwa di 2010. Kemiskinan di Indonesia juga dilaporkan lebih buruk dibanding negara-negara lain di ASEAN.
Anehnya pada saat yang sama, statistik kemiskinan resmi versi BPS justru menunjukkan sebaliknya, jumlah penduduk miskin di Indonesia terus menurun secara konsisten dengan penurunan yang cukup fantastis, yakni mencapai 3,94 juta jiwa sepanjang 2008—2010. Jumlah penduduk miskin yang dilaporkan BPS juga jauh lebih rendah dibanding laporan ADB, yakni hanya sebanyak 34,96 juta jiwa di 2008 dan 31,02 juta jiwa di 2010.
Wajar kalau kemudian perbedaan yang begitu jomplang ini telah memunculkan kekhawatiran bahwa telah terjadi apa yang disebut sebagai “politik angka kemiskinan” oleh Perkumpulan Prakarsa. Apatah lagi, setelah ditelisik ternyata sumber perbedaan itu adalah perbedaan standar atau garis kemiskinan yang digunakan. Garis kemiskinan yang digunakan BPS ternyata sedikit lebih rendah dibanding garis kemiskinan yang digunakan ADB.
Laporan ADB didasarkan pada garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar AS (PPP) per kapita per hari, yang menurut Perkumpulan Prakarsa setara dengan Rp7.800 per kapita per hari. Angka ini diperoleh dengan mengalikan 1,25 dollar AS dengan faktor konversi PPP untuk penghitungan Gross Domestic Product (GDP) atau Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sebesar Rp6.237 per dollar AS (bukan kurs nilai tukar). Penjelasan mengenai PPP terkait perhitungan kemiskinan dapat Anda baca pada tulisan saya sebelumnya: Jumlah Si Miskin (6): Kesalahpahaman Terhadap Garis Kemiskinan Internasional.
Sementara itu, garis kemiskinan yang digunakan BPS pada tahun 2010, misalnya, hanya sebesar Rp212 ribu per kapita per bulan atau Rp7.060 per kapita per hari, yang jika dikonversi seperti cara di atas setara dengan 1,13 dollar AS (PPP). Selisihnya dengan garis kemiskinan yang digunakan ADB memang cukup tipis, yakni hanya sebesar 12 sen dollar AS. Namun demikian, perbedaan jumlah penduduk miskin yang dihasilkan sangat jompang. Jumlah penduduk miskin ADB dan BPS berselisih hingga lebih dari 10 juta jiwa.
Apakah perbedaan garis kemiskinan ini adalah sebuah kesengajaan? Atau lebih menohok lagi, merupakan bentuk politasasi angka kemiskinan yang dilakukan oleh BPS? Jawabannya tentu tidak. Ketika membandingkan garis kemiskinan BPS dengan garis kemiskinan ADB, sejatinya kita sedang membicarakan dua alat yang secara fungsional digunakan untuk tujuan dan kepentingan yang berbeda. Garis kemiskinan BPS digunakan untuk mengukur kemiskinan secara nasional dan menunjukkan bagaimana kemiskinan itu dipandang dari perspektif Indonesia. Sementara itu, garis kemiskinan yang digunakan oleh ADB melihat kemiskinan dari perspektif antarbangsa (internasional), tujuannya adalah perbandingan kemiskinan antarnegara.
Standar atau garis kemiskinan mana yang lebih cocok untuk Indonesia, akan diulas pada tulisan selanjutanya.(*)
Ada yang perlu dikoreski dari hitung-hitungan Perkumpulan Prakarsa terkait konversi garis kemiskinan ADB ke dalam rupiah. Faktor konversi PPP yang digunakan keliru. Mereka yang paham betul tentang sejarah dan cara penghitungan PPP serta penentuan garis kemiskinan internasional tentu dengan terang bisa melihat kekeliruan ini.
Faktor konversi PPP yang dipakai seharusnya bukan yang digunakan untuk perhitungan GDP, tetapi yang digunakan untuk perhitungan salah satu komponen GDP, yakni konsumsi atau pengeluaran rumah tangga.
Faktor konversi PPP untuk GDP tentu tidak cocok digunakan dalam perhitungan kemiskinan karena ditentukan berdasarkan harga semua barang dan jasa yang diikutkan dalam penghitungan GDP. Kenyataannya, tidak semua barang dan jasa tersebut dikonsumsi oleh rumah tangga, karena institusi yang dicakup dalam penghitungan GDP (menurut pengeluaran) tidak hanya rumah tangga, tetapi juga pemerintah (government) dan perusahaan (establishment).
Selain itu, dalam menyusun laporan terkait situasi kemiskinan di kawasan Asia dan Pasifik, ADB sebetulnya menggunakan faktor konversi PPP khusus ketika mengkonversi garis kemiskinan sebesar 1,25 dollar AS ke mata uang setiap negara (rupiah) untuk menghitungan jumlah penduduk miskin di setiap negara (Indonesia), bukan faktor konversi PPP yang digunakan untuk penghitungan konsumsi rumah tangga dalam GDP. Ini dikarenaken faktor konversi PPP yang digunakan untuk penghitungan konsumsi rumah tangga didasarkan pada barang dan jasa yang tidak mewakili pola konsumsi penduduk miskin serta cenderung bias ke kota (urban bias). Untuk mendapatkan penjelasan lebih rinci dan mendalam menganai hal ini silakan baca publikasi ADB berikut: Research Study on Poverty-Spesific Purchasing Power Parity for Selected Countries in Asia and Pacific.
Komentar
Posting Komentar