Dalam sambutannya pada silaturahmi ulama dan tokoh agama di Balai Kota belum lama ini, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menegaskan komitmennya untuk membereskan persoalan ketimpangan di Jakarta melalui berbagai kebijakan yang akan berpihak kepada masyarakat miskin dan kaum marjinal (Antara, 14 November 2017).
Komitmen ini perlu diapresiasi mengingat ketimpangan
ekonomi yang terjadi di Ibu Kota merupakan persoalan serius yang mendesak untuk
segera diatasi. Isu ini menjadi penting karena ketimpangan ekonomi yang semakin
melebar akan memperlemah kohesi sosial antar warga. Konsekuensinya, konflik
dengan latar kecemburuan sosial dan isu keadilan ekonomi akan mudah tersulut.
Lalu seberapa
parahkah sebetulnya ketimpangan ekonomi di Jakarta sehingga perlu dirisaukan? Salah
satu ukuran kuantitatif yang sering digunakan untuk menjelaskan tingkat ketimpangan
ekonomi adalah gini rasio yang berada pada skala antra 0 (perfect equity) dan 1
(the most exterme gap).
Hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS)
memperlihatkan bahwa kesenjangan ekonomi di Jakarta relatif tinggi. Hal ini
tercermin melalui angka gini rasio yang mencapai 0,413 pada Maret 2017. Angka
ini lebih tinggi dari gini rasio nasional yang mencapai 0,393. Secara nasional,
ketimpangan di Ibu Kota termasuk yang paling tinggi setelah Daerah Istimewa Yogyakarta
(0,432) dan Gorontalo (0,430).
Itu artinya, keberhasilan dalam menurunkan
ketimpangan di Jakarta bakal memberi kontribusi signifikan terhadap penurunan
ketimpangan ekonomi secara nasional, yang saat ini merupakan isu utama
pembangunan ekonomi selain persoalan kemiskinan.
Patut diperhatikan bahwa perhitungan angka gini
rasio tersebut menggunakan data pengeluaran rumah tangga yang dikumpulkan
melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Idealnya, perhitungan gini
rasio menggunakan data pendapatan. Sayangnya, informasi ini tidak tersedia.
Penggunaan data pengeluaran sebagai pengganti
pendapatan dalam perhitungan gini rasio memberi konsekuensi bahwa angka yang
dihasilkan cenderung under estimate
dan kemungkinan besar sedikit lemah dalam menggambarkan spektrum ketimpangan
ekonomi yang sebenarnya terjadi di masyarakat.
Berbagi
kekayaan?
Salah satu upaya yang direkomendasikan untuk mempersempit
ketimpangan ekonomi di Jakarta adalah dengan menggenjot kesejahteraan kelompok
masyarakat bawah dengan melakukan redistribusi kue ekonomi yang tercipta di Ibu
Kota (sharing prosperity) melalui
program-program perlindungan sosial yang menyasar kelompok masyarakat bawah.
Program perlindungan sosial terbukti ampuh
menurunkan tingkat kemiskinan lebih cepat ketimbang kebijakan pembangunan
ekonomi yang bertumpu pada mekanisme trickle down effect (Unicef, 2010).
Karena itu, program perlindungan sosial dapat
memainkan peran yang sangat krusial dalam mempersempit ketimpangan ekonomi
antara kelompok msyarakat bawah dan kaya (Razali Ritonga, 2012). Contoh sukses
mengenai hal ini adalah program Bolsa Familia di Brazil yang berhasil
menurunkan gini rasio sebesar 28 persen.
Untuk menghindari tumpang tindih dengan program
pemerintah pusat, hal ini dapat dilakukan dengan memperluas cakupan
program-program yang sudah ada, baik itu yang diinisiasi oleh pemerintah pusat
seperti maupun pemerintah daerah, sehingga dapat menjangkau seluruh lapisan
masyarakat bawah.
Terkait hal ini, pertanyaan kritisnya adalah siapa
yang termasuk kelompok masyarakat bawah yang bakal menjadi target? Jawaban pertanyaan
ini sangat penting untuk menjamin bahwa program perlindungan sosial yang
dijalankan benar-benar efektif dan tepat
sasaran.
Umumnya kelompok masyarakat bawah mengacu pada 40
persen rumah tangga dengan pendapatan terendah. Data BPS memperlihatkan, selama
ini kelompok masyarakat ini hanya menikmati sekitar 16 persen total kue ekonomi
yang tercipta di Ibu Kota. Proporsi ini jauh lebih kecil dibanding porsi yang
dinikmati oleh 20 persen rumah tangga dengan pendapatan tertinggi yang mencapai
47 persen.
Identitas
diri
Sayangnya, upaya memperluas cakupan program
perlindungan sosial oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bakal
dihadapkan pada persoalan ketersediaan data target rumah tangga yang lengkap
dan akurat.
Diketahui, kemiskinan di Jakarta merupakan
kemiskinan perkotaan dengan karakteristik penduduk miskin cenderung
terkonsentrasi pada kawasan pemukiman kumuh di bantaran sungai, sepanjang rel
kereta api, dan daerah pesisir.
Mereka umumnya adalah pendatang dari luar Jakarta
yang tidak dilengkapi dengan identitas diri yang sah sebagai warga Jakarta,
seperti kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK). Dengan demikian,
keberadaan mereka tidak teregistrasi di dalam basis data Pemprov DKI. Sebagai
contoh, sebanyak 184 warga Kampung Akuarium yang menjadi korban penggusuran
ternyata tidak memiliki KTP Jakarta (CNN Indonesia, 27 November 2017).
Persoalannya, dalam pendataan BPS mereka akan tetap
tercakup sebagai penduduk Ibu Kota. Pasalnya, definisi penduduk menurut BPS
mengacu pada konsep yang disepakati secara internasional dalam penyelenggaraan
statistik resmi, yakni waktu tinggal (minimal selama 6 bulan) dan maksud untuk
menetap tanpa memperhatikan identitas kependudukan.
Padahal, keberadaan identitas diri ini sangat
krusial agar mereka teridentifikasi sebagai warga Jakarta dan menjadi target
program-program perlindungan sosial yang diinisiasi oleh Pemda DKI. Program
Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat, misalnya, mensyaratkan bukti KTP
dan KK untuk menjadi penerima program.
Patut diduga, kurang maksimalnya kinerja Pemprov
terkait penanganan ketimpangan ekonomi dan pengentasan kemiskinan dalam
beberapa tahun terakhir disebabkan program-program perlindungan sosial yang ada tidak menjangkau seluruh kaum marjinal
DKI (under coverage).
Diketahui, dalam setahun terakhir, gini rasio
meningkat dari 0,411 pada Maret 2016 menjadi 0,413 pada Maret 2017, sementara
pada saat yang sama persentase penduduk miskin juga meningkat dari 3,75 persen
menjadi 3,77 persen.
Karena itu, untuk memperluas jangkauan program-program perlindungan sosial tersebut, Pemprov harus
memastikan terlebih dulu bahwa seluruh kaum marjinal ibu kota telah menjadi
“warga Jakarta” yang dibuktikan dengan kepemilikin identitas kependudukan yang
valid. (*)
Komentar
Posting Komentar