Langsung ke konten utama

Hanya 30 Persen Orang Indonesia Aman dari Kemiskinan

Pada Oktober lalu Bank Dunia merevisi garis kemiskinan internasional (international poverty line) untuk pengukuran kemiskinan ekstrem yang semula 1.25 dolar Amerika Serikat (AS) menjadi 1.9 dolar AS. Berdasarkan standar kemiskinan ini, seseorang terkategori sangat miskin jika memiliki pendapatan/pengeluaran kurang dari 1.9 dolar per kapita per hari.
Nampaknya, ini merupakan jawaban atas kritik banyak pihak terkait kelayakan standar kemiskinan sebesar 1.25 dolar per kapita per hari. Sebelumnya banyak yang mempertanyakan: bisakah seseorang bertahan hidup dengan pendapatan sebesar itu?
Bukan dolar kurs
Patut diperhatikan, garis kemiskinan internasional tidak bisa dikonversi secara langsung kedalam rupiah dengan menggunakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS di pasar uang (currency). Pasalnya, perhitungannya didasarkan pada daya beli atas sekumpulan barang dan jasa. Hal ini merupakan kekeliruan yang kerap terjadi ihwal penggunaan garis kemiskinan Bank Dunia dalam menganalisis persoalan kemiskinan.
Perhitungan garis kemiskinan Bank Dunia didasarkan pada paritas daya beli atau purchasing power parity (PPP). Sekadar diketahui, PPP merupakan ukuran daya beli relatif dari dua mata uang yang berbeda. Karena itu, saat membandingkan dolar AS dan rupiah dalam perspektif PPP, itu artinya kita sedang membandingkan daya beli relatif kedua mata uang atas sejumlah barang dan jasa.
Secara sederhana, satu dollar AS dalam PPP merupakan jumlah rupiah yang diperlukan di Indonesia untuk membeli sekumpulan barang dan jasa—dengan jenis dan kuantitas yang sama—yang dibeli dengan harga satu dolar di Amerika Serikat. 
Dalam prakteknya, penghitungan PPP cukup rumit dan kompleks serta melibatkan ribuan komoditas. Selama ini, PPP dihitung oleh International Comparison Program (ICP). Fokus dari ICP adalah menghitung Produk Domestik Bruto (PDB) seluruh negara di dunia dalam dolar PPP. Dengan demikian, tingkat kesejahteraan dan capaian ekonomi antar negara dapat diperbandingkan secara apple-to-apple.
Hingga saat ini, ICP telah melakukan penghitungan PPP sebanyak empat kali, yakni pada tahun 1985, 1993, 2005, dan terakhir tahun 2011. Garis kemiskinan internasional terbaru menggunakan PPP tahun 2011. Jika menggunakan PPP terkini, garis kemiskinan internasional yang sebesar 1.9 dolar AS setara dengan Rp9.080,8.
Rentan miskin
Lalu bagaimana gambaran kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan garis kemiskinan internasional terkini tersebut? Bila menggunakan garis kemiskinan sebesar 1.9 dolar AS per hari, jumlah penduduk miskin di Tanah Air mencapai 17.8 juta jiwa atau mencakup 6.8 persen dari total jumlah populasi Indonesia pada Maret 2016.
Angka tersebut jauh lebih rendah dari hasil perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) dengan menggunakan standar kemiskinan nasional sebesar Rp343.647 per kapita per bulan atau sekira Rp11.455 per kapita per hari jika diasumsikan bahwa dalam sebulan terdiri dari 30 hari. Diketahui, hasil perhitungan BPS menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 28.4 juta orang atau sekitar 10.9 persen dari total penduduk pada Maret 2016.

Sayangnya, meski jumlah penduduk Indonesia yang terkategori miskin ekstrem alias sangat miskin (extreme poor) relatif rendah, laporan Bank Dunia berjudul ‘Balancing Act’ yang dirilis pada Oktober lalu mengungkapkan bahwa jumlah orang Indonesia yang berstatus miskin sedang  (moderate poor)—dengan pengeluaran per hari antara 1.9 dolar dan  3.1 dolar—ternyata sangat besar, yakni mencakup sekitar 25 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Itu artinya, lebih dari 30 persen penduduk Indonesia masih terkategori miskin pada 2015 dengan pengeluaran/pendapatan per hari kurang dari 3.1 dolar AS.
Data Bank Dunia juga memperlihatkan bahwa hanya 30 persen orang Indonesia yang benar-benar aman dari kemiskinan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tingkat kerentanan untuk menjadi miskin di Tanah Air relatif tinggi. Hal ini tecermin dari tingginya proporsi penduduk dengan kategori rentan miskin (vulnerable) yang mencapai sekitar 30 persen dari populasi Indonesia pada tahun 2015. Penduduk berkategori rentan miskin tersebut bisa menjadi miskin sewaktu-waktu jika terjadi gejolak ekonomi yang memukul daya beli mereka.
Faktanya, proporsi penduduk berkategori rentan miskin cenderung stagnan dan tidak mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Karena itu, pemerintah sebaiknya memberi perhatian serius terhadap hal ini, yakni bagaimana meningkatkan pendapatan mereka secara signifikan.
Hal ini dapat dilakukan antara lain melalui pembangunan wilayah perdesaan mengingat sebagian besar penduduk dengan kesejahteraan menengah-bawah tinggal di daerah perdesaan. Sejalan dengan hal ini, seperti yang dikemukakan oleh banyak ahli ekonomi, pembangunan infrastruktur pedesaan yang dapat meningkatkan produktivitas di sektor pertanian dan peningkatan nilai tambah produk pertanian harus menjadi fokus perhatian pemerintah. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke s

Pertanyaan Tentang Kemiskinan dari Mentawai

Suatu tempo, seorang sahabat nun di Pulau Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), melayangkan sejumlah pertanyaan terkait penghitungan angka kemiskinan kepada saya via Facebook. Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya. Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya. " Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat nian kawan yang satu ini. Kecil-kecil sudah jadi pejabat dan presenta

Dimensi Kemiskinan di Indonesia

          Jumlah Penduduk Rentan Miskin Cukup Tinggi Melonjaknya angka kemiskinan pada tahun 2006 menunjukkan salah satu dimensi penting kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang hidup dengan pengeluaran di sekitar garis kemiskinan (rentan miskin). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS panel) yang dilakukan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan di sekitar garis kemiskinan nasional cukup besar sehingga menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin seandainya terjadi guncangan ekonomi. Jika yang digunakan adalah indikator garis kemiskinan Bank Dunia [2] , yakni sebesar 1 dollar dan 2 dollar PPP per hari, maka persentase penduduk miskin pada tahun 2006 masing-masing adalah 7,4 persen dan 49,0 persen. Tebel 3. Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun       Sumber GK per Hari GK per Bulan Pers