Akhir-akhir ini istilah ndeso yang sempat
dipopulerkan pelawak Tukul Arwana kembali naik daun. Penyebabnya adalah vidoe
yang diunggah oleh putra Presiden Jokowi di media sosial. Pihak yang
tersinggung dengan penggunaan istilah ndeso dalam video tersebut
kemudian melaporkannya ke pihak kepolisian sebagai bentuk ujaran kebencian.
Menurut sosiolog UGM Arie Sudjito, istilah ndeso menunjukkan
sesuatu yang terbelakang, udig, dan jauh dari kemajuan (Tempo, 20 Juli 2017).
Sementara itu, saat menghadiri acara Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)
di Bandung pada 2014 silam, pak Jokowi menyatakan bahwa mereka yang
menjelekkannya karena berwajah ndeso telah merendahkan masyarakat
pedesaan yang sebagian besar adalah petani. Hal ini dapat dipahami dari
pernyataan beliau berikut:
"Banyak yang menjelekkan saya, katanya wajah saya wajah
'ndeso', artinya menjelekkan orang desa kan. Hati-hati itu artinya meremehkan
kita semua kan,"(sumatra.bisnis.com, 03 Juli 2014).
Itu artinya, secara tidak langsung, pak Jokowi memaknai
istilah ndesosebagai sesuatu yang melekat pada masyarakat pedesaan yang
umumnya petani.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengelompokkan daerah pedesaan
dan perkotaan di Indonesia dengan menggunakan sebuah indeks yang dibangun dari
sejumlah variabel, seperti kepadatan penduduk, persentase rumah tangga
pertanian, fasilitas perkotaan, sarana pendidikan formal, dan sarana kesehatan
umum.
Berdasarkan pengelompokkan ini, populasi masyarakat pedesaan
(orang desa) diperkirakan mencapai 46.7 persen dari total jumlah penduduk
Indonesia pada 2015 yang mencapai 255.46 juta jiwa.
Itu artinya, hampir separuh penduduk Indonesia tinggal di
desa. Tidak berlebihan kalau ada yang mengatakan bahwa jika persolan
sosial-ekonomi yang membelit masyarakat pedesaan mampu diselesaikan, maka
separuh persolan negeri ini telah terpecahkan.
Urbanisasi yang sangat pesat selama beberapa dasawarsa
terakhir telah mentransformasi negeri ini dari masyarakat yang bercorak
pedesaan menjadi masyarakat urban. Hal ini tercermin dari peningkatan tajam
proporsi penduduk perkotaan (orang kota) dari 22.3 persen pada 1980
menjadi 53.3 persen pada 2015. Proporsi penduduk perkotaan bahkan
diproyeksikan bakal mencapai 66.6 persen pada 2035.
Urbanisasi yang pesat ini disebabkan oleh dua hal, yakni
migrasi atau perpindahan penduduk dari desa ke kota dan perluasan wilayah
perkotaan akibat daerah yang semula pedesaan berkembang menjadi perkotaan.
Faktanya, kesenjangan pembangunan antara daerah pedesaan dan
perkotaan merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Hal ini nampaknya
disebabkan oleh pembangunan yang selama ini lebih berpusat di daerah perkotaan.
Dengan kata lain, pembangunan yang terjadi bias ke kota.
Sejalan dengan makna konotatif yang melekat pada
istilah ndeso, hingga kini masyarakat pedesaan---dalam banyak hal---jauh
tertinggal bila dibandingkan dengan saudara-saudaranya di perkotaan.
Kesanjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan tercermin
dari indikator sosial-ekonomi, seperti capaian pendidikan. Pada 2015, misalnya,
rata-rata lama sekolah penduduk 15 tahun ke atas di daerah pedesaan hanya 6.98
tahun (hanya tamat sekolah dasar), jauh lebih rendah dibanding penduduk
perkotaan yang mencapai 9.61 tahun (tamat sekolah menengah pertama).
Disparitas desa-kota juga terlihat jelas dalam persoalan
kemiskinan. Hingga kini daerah pedesaan masih menjadi pusat kemiskinan. Data
BPS memperlihatkan bahwa 17.28 juta masyarakat pedesaan terkategori miskin pada
September 2016 dengan pengeluarkan per kapita kurang dari Rp350.420 per bulan
(garis kemiskinan). Angka ini mencakup 62.25 persen dari total jumlah penduduk
miskin yang mencapai 27.76 juta jiwa pada September 2016.
Sektor pertanian merupakan corak utama aktivitas ekonomi di
daerah pedesaan. Karena itu, masyarakat miskin pedesaan umumnya adalah petani
dan buruh tani. Data BPS memperlihatkan, 66.28 persen kepala rumah tangga
miskin di pedesaan bekerja di sektor pertanian. Mereka adalah
representasi---apa yang disebut Prof. Emil Salim dalam artikelnya di koran
Kompas (24 Agustus 2015) sebagai---kaum Marhaen masa kini yang harus diangkat
taraf hidupnya seperti yang dicita-citakan Bung Karno.
Sedihnya, ada indikasi bahwa kondisi kemiskinan yang dialami
masyarakat pedesaan semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini
tercermin dari peningkatan jumlah penduduk sangat miskin di pedesaan dari 5.83
juta jiwa pada Maret 2014 menjadi 7.47 juta jiwa pada Maret 2016.
Sejalan dengan hal ini, tingkat kedalaman dan keparahan
kemiskinan di daerah pedesaan cenderung memburuk sepanjang Maret 2014-September
2016. Diketahui indeks kedalaman kemiskinan di pedesaan naik dari 2.26 pada
Maret 2014 menjadi 2.32 pada September 2016. Sementara indeks keparahahan
kemiskinan mengalami kenaikan dari 0.57 pada Maret 2014 menjadi 0.59 pada
September 2016.
Kenaikan yang sepertinya tidak seberapa ini sejatinya
memberi konfirmasi bahwa kehidupan ekonomi masyarakat miskin pedesaan kian
memburuk. Mereka dihadapkan pada double burdens: sudah ndeso, melarat
pula.
Sekadar diketahui, mereka berkategori sangat miskin karena
memiliki pengeluaran per kapita di bawah Rp280.336 per bulan (80 persen garis
kemiskinan). Dengan kondisi seperti ini bisa dibayangkan betapa peliknya
persoalan kemiskinan yang tengah dialami oleh masyarakat pedesaan. Bagi mereka,
tas Gucci seharga Rp32 juta tentu saja merupakan barang super mewah
yang---kalau bukan karena keajaiban---tak mungkin bakal terbeli sepanjang hayat
mereka.
Itulah sebabnya, anjuran hidup sederhana bagi presiden dan
pejabat tinggi negara lainnya menjadi sangat relevan di tengah realitas sosial
bahwa masih ada puluhan juta penduduk negeri ini yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya hanya untuk sekadar hidup layak.
Boleh dibilang, sebagian besar indikator sosial-ekonomi yang
mengukur progres pembangunan menunjukkan bahwa daerah pedesaan relatif
tertinggal di banding daerah perkotaan. Karena itu, istilah ndesosejatinya
menyiratkan sebuah tantangan pembangunan, yakni mengangkat masyarakat miskin
pedesaan keluar dari jerat kemiskinan dan segala macam ketertinggalan yang
diakibatkan minimnya akses terhadap pelayanan dasar (pendidikan dan kesehatan)
dan pembangunan yang selama ini bias ke kota. Dengan demikian, kehidupan mereka
bisa menjadi lebih bermartabat seperti suadara-saudaranya di kota. (*k)
Komentar
Posting Komentar