Langsung ke konten utama

Kenaikan Susidi Listrik dan Kemiskinan

Sepanjang tahun ini, pemerintah telah menaikkan tarif listrik sebanyak tiga kali untuk pelanggan berdaya 900 VA, yakni pada 1 Januari, 1 Maret, dan 1 Mei. Dari tiga kali kenaikan tersebut, tarif listrik yang semula Rp605/kwh naik menjadi Rp1.352/kwh atau mengalami kenaikan lebih dari 100 persen. Pada Juli nanti pemerintah kabarnya akan kembali menaikkan tarif listrik untuk pelanggan 900 VA.

Kenaikan ini hanya menyasar golongan mampu (kelas menengah). Di Indonesia, jumlah pelanggan listrik berdaya 900 VA mencapai 22,9 juta rumah tangga (KOMPAS.com, 14 Juni). Berdasarkan hasil kajian Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dari total jumlah tersebut, hanya sebanyak 4,1 juta rumah tangga yang layak menerima subsidi. Sebanyak 18,8 juta rumah tangga sisanya termasuk dalam kategori mampu dan tidak layak menerima subsidi.

Karena itu, untuk pelanggan 900 VA, kenaikan tarif listrik hanya akan dibebankan kepada 18,8 juta rumah tangga mampu sementara 4,1 juta rumah tangga sisanya bakal tetap menerima subsidi listrik. Subsidi juga akan tetap diberikan kepada 23 juta rumah tangga pelanggan berdaya 450 VA.
Seperti halnya penghapusan subsidi bahan bakar minyak, kenaikan tarif listrik tentu bukanlah kebijakan yang populis karena sudah pasti bakal membebani masyarakat. Makanya, saat kampanye pemilihan presiden, semua calon—termasuk pasangan Jokowi-JK—menyatakan komitmen untuk tidak menaikkan tarif listrik bahkan kalau perlu diturunkan.

Meski dinyatakan hanya bakal menyasar golongan mampu, kenaikan tarif listrik tetap saja dikeluhkan oleh sebagian besar masyarakat yang terkena dampak. Apakah kenaikan tersebut hanya akan dirasakan oleh golangan mampu? Hal ini juga belum bisa dipastikan. Terkait hal ini, akurasi hasil kajian yang dilakukan oleh TNP2K di atas, yang digunakan pemerintah sebagai input kebijakan, menjadi sangat krusial.

Penggolongan rumah tangga ke dalam kelompok mampu dan tidak mampu bukanlah pekerjaan yang mudah. Karena lazimnya menggunakan metode statistik yang tidak bersih dari galat (error), kesalahan klasifikasi bakal selalu terjadi. Di sini akurasi data sangat menentukan, kesalahan klasifikasi akan semakin besar jika akurasi datanya relatif lemah dan dipaksakan.

Sepanjang yang penulis pahami, TNP2K membutuhkan data mikro yang memotret kondisi sosial ekonomi rumah tangga untuk sampai pada kesimpulan bahwa 18,8 juta rumah tangga pelanggan listrik 900 VA tidak pantas menerima subsidi karena terkategori mampu. Terkait hal ini, ada dua sumber data yang bisa digunakan, yakni hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2015 atau hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang dilaksanakan secara rutin dua kali dalam setahun. Sayangnya, tak ada satupun dari kedua sumber data tersebut yang memuat informasi mengenai daya listrik yang terpasang di rumah tangga. Informasi ini dimiliki oleh PLN.

Dalam hal ini, ada dua informasi yang perlu dipadankan, yakni kondisi sosial-ekonomi rumah tangga dan daya listrik yang terpasang di rumah tangga. Output dari pekerjaan memadankan (matching) kedua informasi ini sangat menentukan apakah penghapusan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA tepat sasaran.

Terlepas dari asal-muasal angka rumah tangga mampu dan tidak mampu tersebut, satu hal yang pasti adalah rentetan kenaikan tarif listrik sepanjang Januari hingga Mei 2017 berpotensi meningkatkan jumlah penduduk miskin.


Mengapa?

Seperti yang disampaikan oleh ahli statistik dari Badan Pusat Statistik (BPS), Jousairi Hasbullah, kenaikan tarif listrik akan mendorong kenaikan garis kemiskinan. Garis kemiskinan merupakan jumlah pengeluaran minimum (per kapita per bulan) yang digunakan untuk mengklasifikasikan individu termasuk miskin atau tidak.

Diketahui, kontribusi pengeluaran listrik terhadap garis kemiskinan cukup signifikan. Di perkotaan, pengeluaran untuk listrik menyumbang sekitar 2,86 persen terhadap garis kemiskinan pada September 2016, atau menempati posisi kedua untuk kelompok non-bahan makanan setelah pengeluaran untuk perumahan (9,81 persen). Adapun di daerah pedesaan, sumbangsih pengeluaran listrik terhadap garis kemiskinan mencapai 1,59 persen, atau menempati posisi ketiga setelah pengeluaran untuk perumahan (7,63 persen) dan bensin (2,31 persen).

Kenaikan tarif listrik akan menaikkan garis kemiskinan secara langsung (direct effect) melalui peningkatan alokasi pengeluaran untuk biaya listrik. Sementara secara tidak langsung (indirect effect) kenaikan tarif listrik akan memengaruhi garis kemiskinan melalui kenaikan harga-harga kebutuhan masyarakat yang proses produksinya menggunakan listrik sebagai input produksi (utamanya industri rumah tangga).

Karena itu, jika kenaikan garis kemiskinan akibat lonjakan tarif listrik tidak mampu diimbangi dengan peningkatan pendapatan masyarakat yang terkena dampak, jumlah penduduk miskin kemungkinan besar bakal bertambah.

Patut dipahami pula bahwa salah satu karakteristik kemiskinan di Indonesia adalah tingginya proporsi penduduk hampir miskin. Meski tidak terkategori miskin, rata-rata pengeluaran mereka dalam sebulan hanya berbeda tipis dengan garis kemiskinan (selisihnya kurang dari 20 persen). Itu artinya, kenaikan tarif listrik berpotensi menggiring mereka ke bawah garis kemiskinan.

Boleh jadi, kempok penduduk hampir miskin ini, dalam proporsi yang cukup besar, merupakan bagian dari 18,8 juta rumah tangga pelanggan listrik 900 VA yang bakal terkena dampak langsung penghapusan subsidi listrik. Karena itu, upaya mitigasi dari pemerintah terkait dampak yang bakal timbul dari penghapusan subsidi listrik untuk pelanggan 900 VA menjadi sangat krusial. Jika pemerintah tidak seksama dan hati-hati, jumlah penduduk miskin bakal bertambah. (*k)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke s

Pertanyaan Tentang Kemiskinan dari Mentawai

Suatu tempo, seorang sahabat nun di Pulau Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), melayangkan sejumlah pertanyaan terkait penghitungan angka kemiskinan kepada saya via Facebook. Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya. Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya. " Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat nian kawan yang satu ini. Kecil-kecil sudah jadi pejabat dan presenta

Indonesia Pusat Kemiskinan Asia Tenggara

Laporan bertajuk ‘Financing the Sustainable Development Goals in ASEAN: Strengthening integrated national financing frameworks to deliver 2030 Agenda’ yang dirilis belum lama ini  menyebutkan bahwa secara umum negara-negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) telah berhasil mencapai sebagian besar target the Millenium Development Goals (MDGs) selama kurun waktu 2005 hingga 2015. Namun demikian, masih ada sejumlah catatan yang mesti dibereskan. Dan, sebagian catatan tersebut berkait erat dengan peran Indonesia sebagai negara terbesar di ASEAN. Diketahui, ASEAN merupakan rumah bagi lebih dari 600 juta jiwa yang tersebar di 10 negara, dan lebih dari sepertiga dari total jumlah tersebut merupakan penduduk Indonesia. Terkait masalah kekurangan gizi (malnutrisi), misalnya, Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kekurangan gizi kronik yang tercermin dari tingginya prevalensi balita bertubuh kerdil ( stunting ). Laporan ini menyebutkan, 36 persen balita di Tanah Air bertubuh kerdil.