Langsung ke konten utama

Perempuan dan Kemiskinan

Kemiskinan adalah narasi tentang kegetiran hidup serba kekurangan. Cerita tentang hidup yang selalu kalah dan terpinggirkan karena hilangnya kesempatan, rasa percaya diri, dan martabat sebagai manusia. Dengan nada lirih Mahatma Gandhi pernah menulis, kemiskinan adalah kekerasan dalam bentuk yang paling buruk.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, sebanyak 27,77 juta penduduk Indonesia tergolong miskin pada Maret 2017. Jumlah ini mencakup 10,64 persen dari total jumlah penduduk.
Mudah diduga, fraksi terbesar dari kelompok miskin tersebut adalah perempuan dan anak-anak. Data terbaru menunjukkan, sekitar 40 persen atau 11 juta penduduk miskin adalah anak-anak (usia 0-17).
Anak-anak ini miskin karena tumbuh dari keluarga yang juga miskin. Hidup dalam kemiskinan menjadikan mereka berpotensi menjadi bagian dari lingkaran setan kemiskinan saat menginjak usia dewasa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa peluang anak yang hidup dalam rumah tangga dengan kemiskinan kronis untuk tetap miskin ketika dewasa 35 persen lebih tinggi dibanding anak yang tidak berasal dari rumah tangga miskin kronis (SMERU, 2009).
Kepala rumah tangga
Fakta lain menunjukkan bahwa tidak sedikit rumah tangga miskin dipimpim oleh perempuan dengan kapabilitas seadanya. Faktanya, sebesar 16,12 persen atau sekitar satu juta rumah tangga miskin pada Maret 2016 dipimpin oleh perempuan. Selain itu, sebesar 11,03 persen atau sebanyak 1,2 juta anak miskin berasal dari rumah tagga yang dikepalai perempuan. Bayangkan, para perempuan ini harus berjuang menghidupi rumah tangga yang rata-rata terdiri dari lima orang.
Kisah Nur Fatmawati, seorang janda asal Jember, yang terpaksa menjadi supir truk sayuran untuk menghidupi dua orang anaknya (Tribunnews.com, 20 Desember) sejatinya hanyalah potongan kecil dari sebuah narasi besar tentang belasan juta perempuan negeri ini yang terpaksa menjadi kepala rumah tangga. Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mengungkapkan, pada 2015 sekitar 14,63 persen perempuan berumur 15 tahun ke atas merupakan kepala rumah tangga.
Di pertanian yang mengandalkan kekuatan fisik dan merupakan pusat kemiskinan negeri ini, Sensus Pertanian 2013 mencatat bahwa 2,8 juta rumah tangga tani dipimpin perempuan.
Padahal, rumah tangga yang dipimpin seorang perempuan lebih berisiko untuk terjerembab ke dalam kemiskinan. Secara faktual, kejadian kemiskinan (head count ratio) pada rumah tangga yang dipimpin perempuan mencapai 9,82 persen, lebih tinggi dari rumah tangga yang dipimpin laki-laki (9,03 persen).
Sementara itu, pada kelompok anak-anak, kejadian kemiskinan pada rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan sebesar 16,84 persen, juga lebih tinggi dibanding rumah tangga yang dipimpin laki-laki (12,97 persen) (Susenas, Maret 2016).
Pemerataan kesempatan              
Nampaknya, tingkat kemiskinan pada rumah tangga yang dipimpin perempuan cenderung  lebih tinggi dari rumah tangga yang dipimpin laki-laki eksis karena persoalan mendasar: kesenjangan derajat kapabilitas antara kaum laki-laki dan perempuan, khususnya terkait capaian pendidikan.
Faktanya, meski disparitas antara laki-laki dan perempuan semakin menyempit, dalam soal capaian pendidikan, kaum perempuan masih jauh tertinggal dibanding laki-laki. Hasil Susenas 2015 memperlihatkan, rata-rata lama sekolah penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas hanya 7,96 tahun, lebih rendah dari rata-rata lama sekolah penduduk laki-laki pada kelompok umur yang sama, yang sebesar 8,69 tahun.
Selain itu, ketimpangan capaian pendidikan antar individu pada kelompok perempuan juga jauh lebih tinggi dari laki-laki. Hal ini tecermin dari indeks gini lama sekolah penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas yang lebih tinggi (0,323) dibanding penduduk laki-laki pada kelompok usia yang sama (0,273).
Konsekuensinya, meski partisipasi perempuan 15 tahun ke atas di pasar kerja sudah mencapai 48 persen pada 2016, rata-rata upah yang diterima pekerja perempuan ternyata lebih rendah sekitar 30 persen dibanding yang diterima pekerja laki-laki. Selain karena diskriminasi gender, hal ini terjadi karena kesenjangan kualitas individu antara perempuan dan laki-laki di pasar kerja.
Secara umum, capain pembangunan perempuan relatif lebih rendah dari laki-laki. Hal ini terkonfirmasi oleh indeks pembangunan manusia (IPM) perempuan yang hanya sebesar 66,98 pada 2015, jauh lebih rendah dibanding IPM laki-laki yang mencapai 73,58.
Karena itu, kesetaraan gender yang merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional harus terus diupayakan oleh pemerintah. Tak bisa ditampik, perempuan memiliki peran yang sangat vital dalam pengelolaan rumah tangga sekaligus pembangunan bangsa.
Terkait hal ini, R.A Kartini jauh-jauh hari telah berpesan, “ berilah pelajaran kepada anak-anak perempuan, dan dari sinilah peradaban bangsa dimulai. Jadikanlah mereka ibu-ibu yang cakap, cerdas dan baik, maka mereka akan menyebarluaskan peradaban di antara bangsanya kepada anak-anak peradaban, dan kepandaian mereka akan diteruskan.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perkembangan Kemiskinan di Indonesia

Indonesia boleh dibilang memiliki catatan yang cukup mengesankan dalam usaha mengurangi kemiskinan. Gambar 3 dan Tabel 2 secara jelas menunjukkan bahwa secara umum perkembangan persentase penduduk miskin Indonesia selama empat dekade terakhir menunjukkan tren yang menurun. Selama periode 1976-1996, melalui performa pertumbuhan ekonomi yang mengesankan, yakni dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7 persen per tahun, Indonesia telah berhasil mengurangi persentase penduduk miskin yang mencapai 40,1 persen pada pertengahan 1976 hingga hanya mencapai 11,3 persen pada tahun 1996. Menurut Timmer dalam Tambunan (2006), selama periode ini, terdapat beberapa sumber utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, termasuk di dalamnya pertumbuhan pesat di sektor pertanian. Kontribusi dominan sektor pertanian berakhir pada penghujung dekade 80an ketika perannya mulai digantikan oleh industri manufaktur. Pada periode ini pula, mulai terjadi perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian (daerah perdesaan) ke s

Pertanyaan Tentang Kemiskinan dari Mentawai

Suatu tempo, seorang sahabat nun di Pulau Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), melayangkan sejumlah pertanyaan terkait penghitungan angka kemiskinan kepada saya via Facebook. Uda bermarga Koto kelahiran Medan, Sumatera Utara, itu minggu depan akan presentasi di depan Bupati Kepulauan Mentawai dan Kepala SPKD. Dia khawatir bakal dicecar sejumlah pertanyaan terkait kemiskinan oleh Pak Bupati dan kawan-kawannya. Maklum, dia menjabat sebagai pelaksana tugas Kepala Seksi Neraca Wilayah dan Analisis Statistik (Nerwilis) di kantornya, BPS Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang hampir saban hari diteror ancaman gempa dan tsunami itu. Tidak main-main, penghitungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Indikator Kesejahteraan Sosial (Inkesra) menjadi tanggungjawabnya. " Ane pegang Inkesra ama PDRB, boss...." seperti itu kalimat yang dia tuliskan dalam pesannya. Jujur, saya terkagum-kagum kala membacanya. Hebat nian kawan yang satu ini. Kecil-kecil sudah jadi pejabat dan presenta

Dimensi Kemiskinan di Indonesia

          Jumlah Penduduk Rentan Miskin Cukup Tinggi Melonjaknya angka kemiskinan pada tahun 2006 menunjukkan salah satu dimensi penting kemiskinan di Indonesia, yakni tingginya proporsi penduduk yang hidup dengan pengeluaran di sekitar garis kemiskinan (rentan miskin). Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS panel) yang dilakukan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa proporsi rumah tangga di Indonesia dengan pengeluaran per kapita per bulan di sekitar garis kemiskinan nasional cukup besar sehingga menjadikan mereka sangat rentan untuk menjadi miskin seandainya terjadi guncangan ekonomi. Jika yang digunakan adalah indikator garis kemiskinan Bank Dunia [2] , yakni sebesar 1 dollar dan 2 dollar PPP per hari, maka persentase penduduk miskin pada tahun 2006 masing-masing adalah 7,4 persen dan 49,0 persen. Tebel 3. Garis Kemiskinan dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia, Tahun       Sumber GK per Hari GK per Bulan Pers