Salah satu capaian pemerintah Jokowi-JK yang patut diapresiasi
selama tiga tahun terakhir adalah keberhasilan dalam menggenjot produksi
tanaman pangan, khususnya beras, sehingga berujung pada swasembada.
Kementerian Pertanian mencatat,
produksi padi nasional meningkat cukup signifikan dari 70,85 juta ton gabah
kering giling (GKG) pada 2014 hingga mencapai 79,14 juta ton GKG pada 2016.
Tahun ini, produksi padi nasional bahkan diperkirakan bakal menembus angka 80
juta ton GKG.
Tidak mengherankan kalau
sepanjang tahun ini Bulog tidak lagi mengimpor beras dan hanya mengandalkan
produksi dalam negeri untuk memenuhi cadangan beras nasional.
Data Badan Pusat Statistik (BPS)
juga memperlihatkan bahwa realisasi impor beras sepanjang Januari-September
2017 hanya sekitar 200 ribu ton, jauh menurun bila dibandingkan dengan
realisasi impor beras pada tahun lalu yang mencapai 1,28 juta ton. Beras impor
sebanyak 200 ribu ton tersebut adalah beras premium dan beras khusus yang
memang tidak diproduksi di dalam negeri.
Sayangnya, terlepas dari capaian
yang mengesankan ini, Indonesia ternyata masih dihadapkan pada persoalan
kelaparan yang boleh dibilang cukup serius. Hal ini terungkap dalam publikasi
bertajuk “2017 Global Hunger Index: the Inequalities of Hunger” yang dirilis
International Food Policy Research Institute (IFPRI) pada Oktober lalu.
Dalam publikasi ini disebutkan
bahwa skor indeks kelaparan Indonesia sebesar 22. Skor ini menempatkan
Indonesia pada peringkat 72 dari 119 negara (tidak termasuk negara-negara
maju). Di kawasan ASEAN, capaian Indonesia bahkan di bawah Malaysia, Thailand,
Vietnam, dan Filipina.
Berdasarkan kategorisasi IFPRI,
tingkat kelaparan di Indonesia termasuk dalam skala serius. Itu artinya, di
tengah keberhasilan pemerintah dalam menggenjot produksi beras nasional,
kelaparan ternyata masih menjadi fenomena keseharian yang dihadapi oleh
sebagian penduduk Indonesia.
Laporan IFPRI juga menunjukkan
bahwa selama ini kinerja Indonesia dalam menurunkan tingkat kelaparan kurang
memuaskan. Faktanya, Indonesia berada pada kelompok negara dengan tingkat
penurunan kelaparan yang terbilang relatif rendah sejak tahun 2000 bersama
India, Iraq, Pakistan, dan sejumlah negara di kawasan Afrika.
Kurang
gizi
Indeks kelaparan yang dihitung
oleh IFPRI dibangun berdasarkan empat indikator. Keempat indikator tersebut
mencakup persentase populasi kurang gizi/asupan kalori kurang memadai (undernourishment),
persentase balita dengan berat badan rendah (child
wasting) yang merepresentasikan kekurangan gizi akut, persentase
balita bertubuh pendek/kerdil (child
stunting) yang merepresentasikan kekurangan gizi kronik, dan
tingkat kematian balita (child
mortality) yang merefleksikan kombinasi kendala dalam pemenuhan
gizi dan faktor lingkungan yang tidak mendukung tumbuh kembang anak.
Berdasarkan data yang dihimpun
oleh IFPRI, delapan dari setiap seratus penduduk Indonesia terkategori kurang
gizi (asupan kalori tidak mencukupi). Sementara itu, sekitar 14 persen balita
di Indonesia mengalami kekurangan gizi akut. Tingkat kematian balita juga cukup
tinggi, yakni mencapai 2,7 persen pada tahun 2015.
Dari empat indikator yang
digunakan IFPRI dalam penghitungan indeks kelaparan, Indonesia ternyata sangat
buruk dalam hal prevalensi balita bertubuh pendek. Betapa tidak, sekitar 36
dari setiap 100 balita di Indonesia bertubuh kerdil yang merupakan manifestasi
kekurangan gizi kronik.
Celakanya, kekurangan gizi
kronik memiliki dampak yang permanen. Itu artinya, balita yang mengalami
kekurangan gizi kronik akan tumbuh menjadi generasi dengan tingkat kapabilitas
yang rendah, terutama dari sisi kesehatan dan kemampuan kognitif. Kondisi ini
mengakibatkan mereka tidak bisa berkontribusi maksimal terhadap kemajuan
masyarakat karena daya saing yang rendah.
Padahal diketahui bersama bahwa
saat ini Indonesia sedang menikmati bonus demografi yang ditandai dengan
komposisi penduduk yang didominasi kelompok usia produktif (antara 15 sampai 64
tahun). Dalam dua puluh tahun mendatang, balita yang saat ini mengalami
kekurangan gizi kronik tentu akan menjadi bagian dari kelompok usia produktif
tersebut.
Bonus demografi, yang
diproyeksikan akan berlangsung hingga tahun 2030, merupakan modal penting bagi
Indonesia dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional melalui kontribusi
kelompok usia produktif di pasar kerja dan konsumsi domestik. Dengan demikian,
Indonesia dapat mengulang kisah sukses Jepang, Cina, dan Korea Selatan yang
telah berhasil memanfaatkan momentum bonus demografi untuk memacu pertumbuhan
ekonomi.
Namun patut dicatat, hal ini
hanya bisa optimal jika kelompok usia produktif, yang diharapkan menjadi motor
pertumbuhan ekonomi, memiliki kapabilitas (tingkat pendidikan dan kesehatan)
yang mumpuni dan berdaya saing.
Karena itu, laporan IFPRI ini
harus menjadi perhatian serius dan bahan evaluasi pemerintah. Kita sebaiknya
tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi pangan. Di samping mengejar
swasembada, pemerintah juga harus memastikan bahwa setiap penduduk dapat
memenuhi kebutuhan pangannya dengan baik. Terkait hal ini, jaminan bahwa setiap
penduduk, terutama kelompok masyarakat miskin, memiliki akses terhadap pangan
yang murah, mencukupi, dan sehat harus menjadi prioritas. (*)
Komentar
Posting Komentar